Tenda -->

Advertisement

Tenda

Latif Fianto
Monday, November 18, 2019

Rencana menolak kehadiran proyek pembangunan pabrik itu kudengar dari ibu Sutinah, ibuku. Salah satu perempuan dari sedikitnya seratus kaum ibu di bawah lereng pegunungan Kendeng, Rembang. Mereka bergiliran tinggal di sebuah tenda yang berdiri di mulut pintu masuk sebuah pabrik, yang konon hanya tinggal menunggu izin untuk beroperasi. Seperti yang kudengar dari ibu, mereka menamakan tenda itu dengan sebutan tenda sedulur sikep.
“Alra, serakah itu seperti jamur, bila dibiarkan atau sengaja disiram, ia akan tumbuh, berkembang biak, lalu menjelma bakteri, menularkan penyakit. Korbannya bukan hanya jiwa dan raga, tapi lingkungan dan alam,” ujar ibu kepadaku seusai pulang dari berjaga di tenda.
Aku tidak segera merespon perkataan itu. Kulihat gurat kelelahan di wajahnya. Ada hitam di bawah kelopak matanya. Mungkin itu efek dari kurang tidur karena harus berlomba dengan dengung nyamuk yang setiap malam menyerangnya. Aku menuang air putih pada sebuah gelas kosong, lalu menyodorkannya pada ibu.
“Bertahun-tahun warga risau bukan tersebab benci, tapi khawatir alam menjadi rusak. Sawah akan teracuni limbah, lenyaplah kesuburan tanah nenek moyang ini. Ibu tidak bisa membayangkan bila pabrik itu berhasil beroperasi,” serunya sambil memperhatikan air di gelas yang sudah tinggal separuh.
“Bagaimana kalau orang-orang pabrik itu mengusir warga yang berjaga di tenda?  Lalu...” suaraku melemah. “Bisa jadi kan mereka menculik warga satu per satu, lantas  dianiaya sampai kematian menjemputnya,” aku khawatir. Kekhawatiran yang kurasakan sendiri dari getar suaraku.
Ibu masih saja memperhatikan separuh air di gelas itu. Lamat-lamat kepalanya menggeleng. Mungkin maksudnya ingin berkata, Alra, mereka tidak mungkin berani melakukan apa yang kau khawatirkan, Nak. Tapi bagaimana pun juga, aku ngeri sendiri bila mengingat kasus-kasus semacam itu.
Kejadian tahun lalu di pesisir selatan Lumajang membayang di dalam benak. Dua orang warga yang menjadi tokoh aksi penolakan atas penambangan pasir, diculik oleh orang-orang bertubuh kekar. Mereka diciduk secara terpisah. Dipukuli, ditendang, bahkan satu di antara mereka sampai meregang nyawa. Satunya lagi dirawat di rumah sakit dengan muka penuh benjolan biru dan luka-luka menganga di tubuhnya.
Aku juga pernah didera ketakutan yang sama. Masih tahun lalu. Waktu itu, gencar kabar renovasi keberadaan hutan kota. Konon, renovasi itu dimaksudkan untuk memperbaiki fungsi dan kegunaan hutan kota yang tidak semestinya. Aku curiga, tapi bukan maksud tak percaya.
Bagaimana pun juga, kecurigaan penting untuk melatih kecerdasan agar orang-orang lemah sepertiku tak mudah ditipu. Acapkali seseorang menggunakan akal bulus untuk  melicinkan sebuah kepentingan. Bisa jadi, alasan renovasi hutan kota itu sebetulnya hendak menjadikan hutan menjelma gedung-gedung industri, mesin baru pendatang uang. Sekali lagi ini bukan maksud tidak percaya, tapi sikap kecurigaan penting untuk mengorek kebenaran.
Aku dan beberapa kawan yang berkecipung di sebuah komunitas pecinta lingkungan memutuskan melakukan aksi protes. Berbagai tuntutan akan kejelasan informasi mengenai rencana pembangunan itu kami lontarkan. Astaga, maksud kami hanya ingin mengajukan keganjalan-keganjalan yang tumbuh di kepala, tapi orang-orang betubuh kekar yang menjaga proses perbaikan itu mengusir kami dengan suara-suara kasar.
Menyadari itu, aku takut hal yang sama juga terjadi pada ibu dan orang-orang yang bergiliran berjaga di tenda itu.
Pada tahun yang sama, ibu dan juga semua warga yang tergabung dalam tenda menolak keserakahan itu menangis haru di dalam dan di luar tenda. Gugatan lima warga yang menolak keberadaan sebuah pabrik di Pati dimenangkan. Ibu dan seluruh orang-orang yang tak pernah berhenti memperjuangkan hak-haknya menempelkan kening pada tanah. Di hatinya tumbuh bunga-bunga kecil. Wajah-wajah yang kulihat memancarkan cahaya matahari.
Detik-detik yang mengembirakan. Hari berlari dengan senyum kecil di bibir ibu, juga para petani yang tak pernah lesuh menggarap tegal. Mereka berkumpul di salah satu rumah warga, nyaris setiap minggu bergiliran dari rumah ke rumah. Bibir-bibir mereka basah, tak pernah berhenti menyanyikan lagu yang dilantunkan sambung-menyambung bergiliran. Gara-garaning manungso/Akeh bendu kang ngrasa nggegirisi/Korban jiwa raga tuhu/Mila samya hanjaga/Reboisasi tanem tuwuh iku perlu/Kanggo hangreseping toya/Muga-muga bisa lestari.