Rencana menolak kehadiran
proyek pembangunan pabrik itu kudengar dari ibu Sutinah, ibuku. Salah satu
perempuan dari sedikitnya seratus kaum ibu di bawah lereng pegunungan Kendeng,
Rembang. Mereka bergiliran tinggal di sebuah tenda yang berdiri di mulut pintu
masuk sebuah pabrik, yang konon hanya tinggal menunggu izin untuk beroperasi.
Seperti yang kudengar dari ibu, mereka menamakan tenda itu dengan sebutan tenda
sedulur sikep.
“Alra, serakah itu seperti
jamur, bila dibiarkan atau sengaja disiram, ia akan tumbuh, berkembang biak,
lalu menjelma bakteri, menularkan penyakit. Korbannya bukan hanya jiwa dan
raga, tapi lingkungan dan alam,” ujar ibu kepadaku seusai pulang dari berjaga
di tenda.
Aku tidak segera merespon
perkataan itu. Kulihat gurat kelelahan di wajahnya. Ada hitam di bawah kelopak
matanya. Mungkin itu efek dari kurang tidur karena harus berlomba dengan
dengung nyamuk yang setiap malam menyerangnya. Aku menuang air putih pada
sebuah gelas kosong, lalu menyodorkannya pada ibu.
“Bertahun-tahun warga risau
bukan tersebab benci, tapi khawatir alam menjadi rusak. Sawah akan teracuni
limbah, lenyaplah kesuburan tanah nenek moyang ini. Ibu tidak bisa membayangkan
bila pabrik itu berhasil beroperasi,” serunya sambil memperhatikan air di gelas
yang sudah tinggal separuh.
“Bagaimana kalau
orang-orang pabrik itu mengusir warga yang berjaga di tenda? Lalu...” suaraku melemah. “Bisa jadi kan mereka menculik warga satu per satu,
lantas dianiaya sampai kematian
menjemputnya,” aku khawatir. Kekhawatiran yang kurasakan sendiri dari getar
suaraku.
Ibu masih saja
memperhatikan separuh air di gelas itu. Lamat-lamat kepalanya menggeleng.
Mungkin maksudnya ingin berkata, Alra, mereka
tidak mungkin berani melakukan apa yang kau khawatirkan, Nak. Tapi
bagaimana pun juga, aku ngeri sendiri bila mengingat kasus-kasus semacam itu.
Kejadian tahun lalu di
pesisir selatan Lumajang membayang di dalam benak. Dua orang warga yang menjadi
tokoh aksi penolakan atas penambangan pasir, diculik oleh orang-orang bertubuh
kekar. Mereka diciduk secara terpisah. Dipukuli, ditendang, bahkan satu di
antara mereka sampai meregang nyawa. Satunya lagi dirawat di rumah sakit dengan
muka penuh benjolan biru dan luka-luka menganga di tubuhnya.
Aku juga pernah didera
ketakutan yang sama. Masih tahun lalu. Waktu itu, gencar kabar renovasi
keberadaan hutan kota. Konon, renovasi itu dimaksudkan untuk memperbaiki fungsi
dan kegunaan hutan kota yang tidak semestinya. Aku curiga, tapi bukan maksud
tak percaya.
Bagaimana pun juga,
kecurigaan penting untuk melatih kecerdasan agar orang-orang lemah sepertiku tak
mudah ditipu. Acapkali seseorang menggunakan akal bulus untuk melicinkan sebuah kepentingan. Bisa jadi, alasan
renovasi hutan kota itu sebetulnya hendak menjadikan hutan menjelma
gedung-gedung industri, mesin baru pendatang uang. Sekali lagi ini bukan maksud
tidak percaya, tapi sikap kecurigaan penting untuk mengorek kebenaran.
Aku dan beberapa kawan
yang berkecipung di sebuah komunitas pecinta lingkungan memutuskan melakukan
aksi protes. Berbagai tuntutan akan kejelasan informasi mengenai rencana
pembangunan itu kami lontarkan. Astaga, maksud kami hanya ingin mengajukan
keganjalan-keganjalan yang tumbuh di kepala, tapi orang-orang betubuh kekar
yang menjaga proses perbaikan itu mengusir kami dengan suara-suara kasar.
Menyadari itu, aku takut
hal yang sama juga terjadi pada ibu dan orang-orang yang bergiliran berjaga di
tenda itu.
Pada tahun yang sama, ibu
dan juga semua warga yang tergabung dalam tenda menolak keserakahan itu
menangis haru di dalam dan di luar tenda. Gugatan lima warga yang menolak
keberadaan sebuah pabrik di Pati dimenangkan. Ibu dan seluruh orang-orang yang
tak pernah berhenti memperjuangkan hak-haknya menempelkan kening pada tanah. Di
hatinya tumbuh bunga-bunga kecil. Wajah-wajah yang kulihat memancarkan cahaya
matahari.
Detik-detik yang
mengembirakan. Hari berlari dengan senyum kecil di bibir ibu, juga para petani
yang tak pernah lesuh menggarap tegal. Mereka berkumpul di salah satu rumah
warga, nyaris setiap minggu bergiliran dari rumah ke rumah. Bibir-bibir mereka basah,
tak pernah berhenti menyanyikan lagu yang dilantunkan sambung-menyambung
bergiliran. Gara-garaning manungso/Akeh
bendu kang ngrasa nggegirisi/Korban jiwa raga tuhu/Mila samya hanjaga/Reboisasi
tanem tuwuh iku perlu/Kanggo hangreseping toya/Muga-muga bisa lestari.