Ayam Petelur Seorang Kawan -->

Advertisement

Ayam Petelur Seorang Kawan

Latif Fianto
Wednesday, April 1, 2020


Pagi tadi saya me WA seorang kawan dan bertanya apakah hari ini dia tidak masuk kerja. Kawan saya bilang kalau dia sedang di rumah dan tidak sedang ngapa-ngapain, dan oleh sebab itulah, dia mengajak saya main ke rumahnya. Saya bilang kepadanya kalau saya tengah mengkarantina diri di rumah. Saya merasa tidak perlu menjelaskan kenapa saya melakukan itu, tetapi gagal. Saya mengatakan kepadanya kalau sekarang musim korona, yang kemungkinan lebih dahsyat dari perang dunia satu dan dua.
"Asah.. Mun neng edisah tadek coronah kak jek renglah orengah aolahraga kasabe maloloh ben areh kak," kata dia menggunakan bahasa Madura, dengan satu emot ketawa.
Membaca ini, saya ketik di layar ponsel kalau saya sedang menjaga jarak aman, karena tidak semua istilah "positif” mengandung makna yang menenangkan. Dalam hal ini saya ingin "negatif" saja.
"Haha.. Paggun aman mun edinnak kak takok elanduk lajuh coronanah," katanya lagi membalas chat saya, dibumbuhi satu emot ketawa.
Kemudian saling berbalas chat berlangsung.
"Dhina nyareya bekto luh, hahaha. Areya corona tak ambuwe ye?"
"Ella mun makroni aperreyan lakar kak."
"Sekemma pole makroni jeyah?"
"Kancanah makrona kak." (Plus emot senyum)
"Beremmah ajem? Lancar?"
"Alhamdulillah.... Lancar kak. Akibat virus korona." (Kali ini dengan emot pusing kepala dan ketawa)
Sebenarnya saya ingin sekali pergi ke rumahnya, atau kalau tidak, memenuhi ajakannya untuk ngopi di dekat alun-alun kota. Mungkin kami akan bicara soal bisnis ayam petelur, bagaimana prospeknya, bukan di masa depan tetapi ke dalam dompet, karena itu yang paling penting sekarang. Atau kami akan bicara seorang kawan yang sampai saat ini belum menikah, tapi sangat cekatan mengekor pemerintah. Tentu karena ada proyek dan uangnya.
Lebih dari itu semua, saya ingin bertemu dengannya karena dialah satu-satunya kawan yang saya kenal di kota yang baru saya tinggali, dan ngopi dengannya kemungkinan bisa mencairkan kejenuhan-kejenuhan akibat mengurung diri di dalam kamar. Sebenarnya, sesekali saya berdiri di depan rumah, melihat kemakmuran yang tidak merata atau kemiskinan yang bergelimpangan di banyak rumah.  Kadang, saya juga berolahraga. Kalau tidak di balkon atas, saya lari-lari kecil menyusuri jalan beraspal di depan rumah. Sesekali saya juga pergi ke kandang ayam milik bapak mertua, belajar memahami kegemarannya menernak ayam-ayam pendek. Kadang, saya berpikir, kandang ayam dan isinya, adalah jalan lain yang perlu ditempuh saat keran utama finansial mengalami penyumbatan.
Hal lain yang terjadi saat me WA kawan saya adalah bayangan saya yang meloncat ke keluarga di rumah, yang setiap hari pergi ke ladang dan sawah untuk mengarit rumput. Malamnya, mereka masih harus membuat pakan sapi dari janur, dilanjutkan mengiris dahan nyiur jadi kecil-kecil agar sapi mau melahapnya. Pukul 8 malam mereka sudah tepar di depan tivi, bukan karena kebiasaan mereka begitu seperti kebanyakan orang-orang kaya dan beruang, tetapi karena seharian mereka sudah bolak-balik sawah-ladang-rumah. Seandainya siang hari, mulai dari pukul 7 pagi sampai 4 sore, saya menelepon, itu hanya akan berakhir sebagai panggilan tak terjawab, karena mereka tak memegang ponsel sambil mengarit. Mereka juga tak berpikir untuk membawanya setiap hari, setiap pergi mengumpulkan pakan sapi.
Pada musim korona ini, suatu malam, sekitar pukul 2 dini hari, adik saya menelepon. Katanya, keluarga mendapat kabar dan menyampaikannya kepada saya untuk merebus telur sebanyak jumlah anggota keluarga agar terhindar dari korona. Saya kaget dan mengecek, apakah itu benar atau hanya kabar yang tidak jelas juntrungannya.
Malam itu juga saya berselancar di atas papan mesin pencari, mencari-cari berita seorang bayi yang baru lahir dan ngomong soal telur. Saya menemukannya, dan ternyata itu kabar tak benar alias hoax. Saya sampaikan hal itu kepada adik saya, dan saya bilang kepadanya untuk tidak memakan mentah-mentah kabar yang belum jelas benar-tidaknya. Seandainya D. Zawawi Imron yang mengatakan tentang telur, mungkin saya akan percaya, karena dia akan berkata, dubur ayam yang mengeluarkan telur lebih baik dari mulut pemerintah yang menjanjikan telur.
Kembali ke obrolan saya tentang korona, virus yang diberitakan merebak pertama kali di pasar ikan Huanan, Wuhan, pada 31 Desember 2019 ini, benar-benar telah menjadi pandemi. Per 31 Maret, angka kasus positif korona di Indonesia sudah menembus angka 1500 dengan 1.311 pasien sedang menjalani perawatan. Para perantau yang pergi ke ibu kota, berbondong-bondong pulang kampung, meski tidak sedikit dari mereka yang mudik lebih cepat ini tak sadar telah ikut membuat penyebaran korona semakin meluas.
Bersamaan dengan itu, disadari betul bahwa korona sudah merubah pola pergaulan dan kerja kita. Saya, misalnya, mulai digerayangi kecemasan untuk keluar rumah, bertemu dan mengobrol kawan saya. Kadang, saya juga was-was menerima uang kembalian dari penjaga toko atau swalayan. Saya juga semakin khawatir ketika masuk toko kue dan melihat semua pelayannya mengenakan masker. Apakah mereka sudah terinfeksi sehingga harus mengenakannya? Padahal sebetulnya, yang harus pakai masker adalah mereka yang sakit. Mereka harus tinggal di rumah, dengan sadar harus mengisolasi dan menyembuhkan diri, menjauh dari banyak orang, sehingga orang lain yang tak terjangkit bisa kembali ke kampus, sekolah, dan kantor dengan normal. Tapi, sekali lagi, perlu dimaklumi, itu bagian dari usaha membentengi diri karena mencegah lebih baik dari mengobati. Yang mengerikan adalah kalau sebelum diobati dia sudah qoid duluan.
Mau tidak mau, suka tidak suka, kita yang sebelumnya berjubel di tempat-tempat wisata dan hiburan, untuk sementara tak boleh melakukannya. Institusi pemerintah, objek wisata, sekolah dan lainnya diliburkan. Kita tinggal di rumah, bekerja, belajar, dan belanja dari rumah. Kita bahkan untuk sementara waktu harus menjaga jarak dengan orang lain, diusahakan tidak bersalaman, apalagi cipika-cipiki. Setiap menyentuh siapa dan apa pun harus cuci tangan dulu pakai sabun.
Bicara ini saya ingat sebuah kejadian. Beberapa waktu lalu, saat seorang kerabat pergi ke rumah mengantarkan makanan dan kami bersalaman meski saya sudah bilang bahwa untuk sementara tak perlu melakukannya tetapi dia sepertinya tidak mendengar dan tetap menjulurkan tangannya, saya disuruh segera pergi ke kamar mandi untuk cuci tangan. Meski saya tidak meremehkan korona, tapi sikap yang demikian menurut saya sangat berlebihan. Kendati begitu saya maklum, itu bagian dari usaha menjaga diri, karena menjaga diri sendiri berarti menjaga orang-orang yang kita cintai dari segala jenis mala yang kehadirannya sangat tidak kita ingini.
Korona, yang telah banyak mengambil tempat di dada manusia, menyebabkan keinginan untuk bertemu kawan saya dan melihat ayam petelurnya yang saya duga pasti sudah sangat produktif harus ditunda. Oleh sebab itu, saya mencoba mencairkan kejenuhan dengan cara yang lain. Mengetik tulisan ini, misalnya.***