Pagi tadi saya me WA seorang kawan dan bertanya apakah hari ini dia tidak
masuk kerja. Kawan saya bilang kalau dia sedang di rumah dan tidak sedang
ngapa-ngapain, dan oleh sebab itulah, dia mengajak saya main ke rumahnya. Saya
bilang kepadanya kalau saya tengah mengkarantina diri di rumah. Saya merasa
tidak perlu menjelaskan kenapa saya melakukan itu, tetapi gagal. Saya
mengatakan kepadanya kalau sekarang musim korona, yang kemungkinan lebih
dahsyat dari perang dunia satu dan dua.
"Asah.. Mun neng edisah tadek coronah kak jek renglah orengah
aolahraga kasabe maloloh ben areh kak," kata dia menggunakan bahasa
Madura, dengan satu emot ketawa.
Membaca ini, saya ketik di layar ponsel kalau saya sedang menjaga jarak
aman, karena tidak semua istilah "positif” mengandung makna yang
menenangkan. Dalam hal ini saya ingin "negatif" saja.
"Haha.. Paggun aman mun edinnak kak takok elanduk lajuh
coronanah," katanya lagi membalas chat saya, dibumbuhi satu emot ketawa.
Kemudian saling berbalas chat berlangsung.
"Dhina nyareya bekto luh, hahaha. Areya corona tak ambuwe ye?"
"Ella mun makroni aperreyan lakar kak."
"Sekemma pole makroni jeyah?"
"Kancanah makrona kak." (Plus emot senyum)
"Beremmah ajem? Lancar?"
"Alhamdulillah.... Lancar kak. Akibat virus korona." (Kali ini
dengan emot pusing kepala dan ketawa)
Sebenarnya saya ingin sekali pergi ke rumahnya, atau kalau tidak, memenuhi
ajakannya untuk ngopi di dekat alun-alun kota. Mungkin kami akan bicara soal
bisnis ayam petelur, bagaimana prospeknya, bukan di masa depan tetapi ke dalam
dompet, karena itu yang paling penting sekarang. Atau kami akan bicara seorang
kawan yang sampai saat ini belum menikah, tapi sangat cekatan mengekor
pemerintah. Tentu karena ada proyek dan uangnya.
Lebih dari itu semua, saya ingin bertemu dengannya karena dialah
satu-satunya kawan yang saya kenal di kota yang baru saya tinggali, dan ngopi
dengannya kemungkinan bisa mencairkan kejenuhan-kejenuhan akibat mengurung diri
di dalam kamar. Sebenarnya, sesekali saya berdiri di depan rumah, melihat
kemakmuran yang tidak merata atau kemiskinan yang bergelimpangan di banyak
rumah. Kadang, saya juga berolahraga. Kalau
tidak di balkon atas, saya lari-lari kecil menyusuri jalan beraspal di depan
rumah. Sesekali saya juga pergi ke kandang ayam milik bapak mertua, belajar
memahami kegemarannya menernak ayam-ayam pendek. Kadang, saya berpikir, kandang
ayam dan isinya, adalah jalan lain yang perlu ditempuh saat keran utama
finansial mengalami penyumbatan.
Hal lain yang terjadi saat me WA kawan saya adalah bayangan saya yang meloncat
ke keluarga di rumah, yang setiap hari pergi ke ladang dan sawah untuk mengarit
rumput. Malamnya, mereka masih harus membuat pakan sapi dari janur, dilanjutkan
mengiris dahan nyiur jadi kecil-kecil agar sapi mau melahapnya. Pukul 8 malam
mereka sudah tepar di depan tivi, bukan karena kebiasaan mereka begitu seperti
kebanyakan orang-orang kaya dan beruang, tetapi karena seharian mereka sudah bolak-balik
sawah-ladang-rumah. Seandainya siang hari, mulai dari pukul 7 pagi sampai 4
sore, saya menelepon, itu hanya akan berakhir sebagai panggilan tak terjawab,
karena mereka tak memegang ponsel sambil mengarit. Mereka juga tak berpikir
untuk membawanya setiap hari, setiap pergi mengumpulkan pakan sapi.
Pada musim korona ini, suatu malam, sekitar pukul 2 dini hari, adik saya
menelepon. Katanya, keluarga mendapat kabar dan menyampaikannya kepada saya untuk
merebus telur sebanyak jumlah anggota keluarga agar terhindar dari korona. Saya
kaget dan mengecek, apakah itu benar atau hanya kabar yang tidak jelas
juntrungannya.
Malam itu juga saya berselancar di atas papan mesin pencari, mencari-cari
berita seorang bayi yang baru lahir dan ngomong soal telur. Saya menemukannya,
dan ternyata itu kabar tak benar alias hoax. Saya sampaikan hal itu kepada adik
saya, dan saya bilang kepadanya untuk tidak memakan mentah-mentah kabar yang
belum jelas benar-tidaknya. Seandainya D. Zawawi Imron yang mengatakan tentang
telur, mungkin saya akan percaya, karena dia akan berkata, dubur ayam yang
mengeluarkan telur lebih baik dari mulut pemerintah yang menjanjikan telur.
Kembali ke obrolan saya tentang korona, virus yang diberitakan merebak
pertama kali di pasar ikan Huanan, Wuhan, pada 31 Desember 2019 ini, benar-benar
telah menjadi pandemi. Per 31 Maret, angka kasus positif korona di Indonesia
sudah menembus angka 1500 dengan 1.311 pasien sedang menjalani perawatan. Para perantau
yang pergi ke ibu kota, berbondong-bondong pulang kampung, meski tidak sedikit
dari mereka yang mudik lebih cepat ini tak sadar telah ikut membuat penyebaran
korona semakin meluas.
Bersamaan dengan itu, disadari betul bahwa korona sudah merubah pola
pergaulan dan kerja kita. Saya, misalnya, mulai digerayangi kecemasan untuk
keluar rumah, bertemu dan mengobrol kawan saya. Kadang, saya juga was-was
menerima uang kembalian dari penjaga toko atau swalayan. Saya juga semakin
khawatir ketika masuk toko kue dan melihat semua pelayannya mengenakan masker.
Apakah mereka sudah terinfeksi sehingga harus mengenakannya? Padahal
sebetulnya, yang harus pakai masker adalah mereka yang sakit. Mereka harus
tinggal di rumah, dengan sadar harus mengisolasi dan menyembuhkan diri, menjauh
dari banyak orang, sehingga orang lain yang tak terjangkit bisa kembali ke
kampus, sekolah, dan kantor dengan normal. Tapi, sekali lagi, perlu dimaklumi,
itu bagian dari usaha membentengi diri karena mencegah lebih baik dari
mengobati. Yang mengerikan adalah kalau sebelum diobati dia sudah qoid duluan.
Mau tidak mau, suka tidak suka, kita yang sebelumnya berjubel di
tempat-tempat wisata dan hiburan, untuk sementara tak boleh melakukannya. Institusi
pemerintah, objek wisata, sekolah dan lainnya diliburkan. Kita tinggal di
rumah, bekerja, belajar, dan belanja dari rumah. Kita bahkan untuk sementara
waktu harus menjaga jarak dengan orang lain, diusahakan tidak bersalaman,
apalagi cipika-cipiki. Setiap menyentuh siapa dan apa pun harus cuci tangan
dulu pakai sabun.
Bicara ini saya ingat sebuah kejadian. Beberapa waktu lalu, saat seorang
kerabat pergi ke rumah mengantarkan makanan dan kami bersalaman meski saya
sudah bilang bahwa untuk sementara tak perlu melakukannya tetapi dia sepertinya
tidak mendengar dan tetap menjulurkan tangannya, saya disuruh segera pergi ke
kamar mandi untuk cuci tangan. Meski saya tidak meremehkan korona, tapi sikap
yang demikian menurut saya sangat berlebihan. Kendati begitu saya maklum, itu
bagian dari usaha menjaga diri, karena menjaga diri sendiri berarti menjaga
orang-orang yang kita cintai dari segala jenis mala yang kehadirannya sangat
tidak kita ingini.
Korona, yang telah banyak mengambil tempat di dada manusia, menyebabkan keinginan
untuk bertemu kawan saya dan melihat ayam petelurnya yang saya duga pasti sudah
sangat produktif harus ditunda. Oleh sebab itu, saya mencoba mencairkan
kejenuhan dengan cara yang lain. Mengetik tulisan ini, misalnya.***