Saya
baru saja menyelesaikan dua buku Soe Hok Gie: Di Bawah Lentera Merah dan
Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan. Seorang dosen yang saya kagumi
menganjurkan untuk membacanya, dan langsung meminjamkan dua buku tersebut.
Cukup lama untuk tertarik membaca dua buku itu, tetapi akhirnya saya selesaikan
juga. Selain karena alasan ingin mengetahui isinya, saya merasa tidak enak
apabila dengan senang hati seseorang meminjamkan bukunya, lalu saya kembalikan
lagi tanpa saya sentuh sekali pun. Lalu, kalau dosen saya itu tanya,
"Sudah dibaca bukunya?", saya merasa berdosa apabila hanya demi
menaikkan reputasi diri di depan dosen saya jawab, "Ya, sudah
selesai."
Tetapi,
terlepas dari asalan-alasan itu, paling tidak saya sedikit tahu bagaimana
proses munculnya Partai Komunis Indonesia (PKI). Setidaknya, dari dua
buku itu saya memperoleh gambaran yang sedikit lebih jelas daripada apa
yang selama ini saya raba. Terjadinya instabilitas sosial dan ekonomi waktu
itu, sekitar tahun 1900-an, sangat diterima oleh akal sebagai penyebab lahirnya
gerakan-gerakan sosial Sarekat Islam Semarang. Lahirnya gerakan tersebut tidak
dilatarbelakangi oleh teori-teori Marxisme tentang tiadanya kelas, tetapi
kerena memang keadaan sosial waktu itu yang menuntut masyarakat, yang dimotori Semaun
dengan Sarekat Islam Semarangnya, melakukan gerakan-gerakan perlawanan.
Lahan-lahan
perkebunan yang waktu itu disewa lali dibeli oleh pemerintah Hindia-Belanda,
yang kemudian lebih banyak ditanami tebu, menjadikan masyarakat lokal
kehilangan kesempatan untuk menikmati hasil bumi sendiri. Upah-upah tidak
sebanding dengan kerja keras yang dilakukan. Banyak masyarakat yang terkena
penyakit pes, penyakit yang diakibatkan oleh kondisi lingkungan yang kotor dan
menjadi sarang tikus. Kondisi demikian menjadi pecut luar biasa bagi sekelompok
aktivis waktu itu untuk melakukan perlawanan, yaitu dengan cara mogok kerja dan
menuntut adanya perbaikan-perbaikan yang bisa mendatangkan kesejahteraan
masyarakat.
Perlawanan
atau gerakan-gerakan Sarekat Islam Semarang (SIM) yang belum maksimal
memunculkan gagasan untuk membuat organisasi khusus yang mengurusi gerakan
buruh. Mereka mendirikan ISDV yang kemudian, seiring berkembangnya pola gerakan
dan kondisi sosial, atas saran dan masukan dari orang-orang tertentu, semacam
Snevleet dan beberapa yang lain, SIM mendirikan organisasi Komunis, yang secara
spesifik kemudian dinamakan Partai Komunis Indonesia.
Ini
merupakan ingatan-ingatan yang masih tersisa saat membaca dua buku tersebut.
Meskipun tidak didasarkan pada ingatan data yang kuat, karena saat menulis ini
saya sedang tidak memegang dua buku tersebut, tapi ini merupakan sedikit
pandangan saya atas lahirnya PKI, yang hingga kini menjadi semacam hantu
gentayangan yang sangat ditakuti kelahirannya kembali. Saya sendiri, masih
meragukan PKI dengan Fron Nasionalnya sebagai pembangkang yang secara mutlak
harus dibenci seumur hidup bahkan hingga turun temurun. Bahkan sebagian besar
masyarakat, atas alasan-alasan tertentu tidak mau membuka kembali
dokumen-dokumen sejarah, yang paling tidak, bisa menjadi alasan untuk peduli
pada jalannya sejarah. Ini bukan maksud untuk kembali pada masa lalu, tapi
setidaknya, kepedulian pada jalan sebenarnya dari masa lalu tidak membutakan
mata hati kita dalam melihat masa lalu.