KUDA BESI DAN LELAKI YANG MENUNGGANGI DI ATASNYA -->

Advertisement

KUDA BESI DAN LELAKI YANG MENUNGGANGI DI ATASNYA

Latif Fianto
Sunday, November 1, 2015



Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan’.
#SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com


Sudah puluhan kali dia membolak balik poster di tangannya. Mengeja setiap kalimat, barangkali ada salah satu kata yang ketelisut. Setiap kali poster itu selesai dibagikan di simpang jalan, dia akan melihatnya kembali di beranda rumah. Seperti melihat dirinya yang lain di muka sebuah cermin. Di atas meja kusam, segelas kopi hitam menemani.

Arnes menarik nafas panjang. Hening masih setia menggumuli udara. Dia tenggelam ke dalam pikirannya, seolah masuk ke dalam dunia yang diciptakannya sendiri. Aku tertegun, bingung. Sulit menemukan kata yang tepat untuk memecah balon udara tanpa bunyi berdebum di telinga. Pada selembar kertas putih yang lain, dia membuat oret-oretan yang tak kupahami maknanya. Tidak! Itu bukan sembarang oretan. Arnes sedang melukis. Garis oretannya seperti sehelai benang yang ditarik memanjang, melingkar, memadat, lantas membentuk sebuah gambar: kuda besi dan lelaki yang menunggangi di atasnya.

Gambar itu jauh dari kata sempurna. Kertas itu dilipat dan dimasukkan ke dalam saku celananya. Dia berdiri, melangkah serupa mesin setrika. Kulitnya yang langsat berubah legam gelap. Rambutnya hitam kekuningan. Tidak benar-benar hitam, tetapi juga tidak kuning menyala. Bibirnya bergerak, seolah merapal mantra.
Arnes, lelaki berkumis tipis dengan alis menghutan. Namanya dikenal sejak gemar membagikan poster di bawah cerlang matahari. Tak ada tanggal yang menandai aku resmi menjadi kongsi kerjanya. Ini adalah kerjasama non profit. Keuntungannya tak terlihat karena sebenarnya kami sedang melakukan investasi tak kasat mata. Seperti kata Arnes, yang kami lakukan adalah sebuah cara sederhana menghindari kematian. 
Suatu hari, dia datang ke rumah membawa setumpuk poster yang dibuatnya sendiri. Mula-mula aku tidak percaya. Dua orang manusia yang tumbuh di tengah rerumputan biasa seolah memiliki kuasa untuk merubah pola manusia yang membanjiri setiap sudut kota.
“Ini bukan persoalan posisi dan kuasa,” katanya penuh keyakinan.  
“Aku tidak yakin kita bisa melakukannya! Hanya kau dan aku,” aku menggeleng.
“Kita tidak perlu menunggu orang banyak untuk melakukan perubahan, kita bisa memulainya dari hal-hal kecil seperti ini,” Arnes mencoba meyakinkan.
“Orang-orang sudah sibuk dengan hal-hal besar, uang, kehidupan, mobil dan kesejahteraan perutnya.”
“Tapi mereka lupa akan hal-hal kecil, bahwa kecelakaan yang sering terjadi itu bukan semata-mata takdir Tuhan.”
“Lantas dengan apa kita menyebutnya kalau tidak demikian?”
“Sungguh percuma manusia diberi akal kalau menyeret setiap kejadian pada takdir,” Arnes menurunkan volume suaranya. “Kau tahu, kita bisa menghindari kecelakaan dengan mawas diri, mematuhi rambu-rambu lalu lintas misalnya.”
“Itu lagu lama! Percuma! Semua orang sudah tahu teori itu, tapi nyatanya...”
“Karena itu, aku perlu mengajak kau menyebarkan rantai kebaikan dengan langsung menyentuh kesadaran para pengedara motor. Bagimana?”
“Caranya?”
Arnes mengacungkan tumpukan poster yang dipegangnya tepat di pucuk hidungku.
Sebenarnya aku masih ragu terhadap apa yang akan kami lakukan. Setiap hari orang-orang datang ke kantor polisi membuat Surat Izin Mengemudi. Mereka diajarkan tata tertib berkendara. Mulai dari kegunaan menyalakan lampu utama di siang hari, menyalakan isyarat lampu setiap kali hendak berbelok atau menepi. Hampir setiap hari orang-orang menerima pengetahuan itu. Tapi, hampir setiap hari juga kecelakaan terjadi. Apa yang salah?
“Baiklah! Tidak ada salahnya dicoba.”
Sejak itu, aku menemani Arnes menyebarkan poster di setiap persimpangan jalan. Saat lampu merah menyala, kaki Arnes begitu cekatan dan lincah melangkah. Kedua tangannya langsung bekerja, membagikan poster yang ada di genggamannya. Mulutnya diam tanpa berkata-kata. Mula-mula aku mengamati caranya melangkah. Semangat yang tanpa padam menyala. Lantas pada suatu titik, aku menyalakan api yang sama di dalam dada. Sebuah pemikiran mulai tumbuh di kepala, hidup tidak akan selesai dengan hanya menjadi pengamat saja.
Pelan-pelan aku melakukan hal yang sama, menyebarkan poster buatannya.
Mengenal Arnes seperti memasuki dunia kopi, akan terasa sari-sari kenikmatannya saat kita mulai meminumnya. Awalnya sulit menanam keyakinan, tapi Arnes melakukannya tidak dengan hanya berkata-kata, tetapi dengan contoh nyata. Aku bisa melihatnya setiap hari, saat dia berdiri di bawah cerlang matahari, membagikan poster dari tangan ke tangan.
“Kenapa kau melakukannya?” tanyaku saat kami selesai membagikan poster di persimpangan jalan di lampu merah.
“Ini memang tidak terlihat istimewa, tapi hatiku berdarah saat membaca berita kecelakaan yang menewaskan seorang pengendara sepeda motor,” katanya menuju teras rumah. Di tangan kiri tergenggam selembar poster dan segelas kopi di tangan kanan.
Seperti ribuan manusia lainnya, di balik dada Arnes yang berbidang terdapat segumpal hati yang tercipta dari segumpal darah. Yang berbeda, hati Arnes sangat halus. Sama seperti arti namaku yang lemah kembut. Seringkali dirinya tertangkap basah sedang berurai air mata saat menonton film bernuansa sedih. Aku percaya dia tidak berbohong saat mengatakan hatinya berdarah ketika mendengar berita kecelakaan. Itu benar-benar terjadi dan aku melihatnya sendiri.
Jujur saja, aku ingin melihat nyala api yang sama di mata Arnes. Seperti saat pertama kali ia datang kepadaku, mengetuk pintu dan menawarkan kongsi kerjasama.
Aku bergeming. Matahari senja terasa asin. Arnes tak bosan-bosan menatap poster yang dipegangnya. Seperti sedang menelanjangi setiap kata yang dirangkainya sendiri. Segelas kopi teronggok kaku di atas meja. Di atasnya asap putih melayang terbang, bergoyang. Sekilas seperti perempuan bersayap kupu-kupu putih. Aku tergoda ingin meminumnya, tapi Arnes hanya mendiamkan saja hingga pelan-pelan asap itu terserap ke dalam udara.
Arnes tidak hanya membuat poster dan menyebarkannya, dia juga membuat blog berisi tulisan-tulisan tips aman berkendara. Mulai dari bentuk berita dengan melakukan wawancara kepada narasumber terpercaya, tulisan esai, puisi hingga dalam bentuk cerpen. Tapi upayanya menyebarkan poster seperti akar yang menjulur ke dalam tanah dan terbentur bongkahan batu besar. Kini dia tertunduk. Dia seperti bongkahan batu yang bisu dipeluk sepi.  
“Sebuah kematian adalah sesuatu yang niscaya, tapi kecelakaan adalah sebuah pilihan. Walaupun sebuah pilihan, tidak ada orang yang memilih untuk celaka, satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah dengan menghindarinya,” dia berbicara sendiri pada selembar poster yang dipegangnya.
“Kita sudah berhari-hari menyebarkan poster ini, apakah kau masih yakin cara ini akan berhasil?”
“Tidak ada yang menjamin cara ini akan berhasil. Tapi usaha dan keyakinan lebih memberikan harapan daripada hanya berpangku tangan.”
Arnes benar, dan aku setuju sepenuhnya.
“Kita tidak akan kaya dengan menyebarkan poster seperti ini, tapi percayalah kita sedang menanam benih kebaikan.”
“Serupa menyebarkan rantai kebaikan secara pararel?” aku menelisik wajah Arnes.
Arnes mengangguk mantap. Sebuah anggukan yang sangat dalam.
“Lalu kapan kita akan memetik buahnya?”
Bukan jawaban yang kuterima, tapi sebuah tatapan tajam menghujam mata. “Kau percaya bank cicilan akhirat?”
“Aku bahkan baru mendengarnya.”
“Aku sudah pernah bilang, bukan? Kita sedang melakukan investasi tak kasat mata. Kita sedang menabung untuk perjalanan panjang, sebuah kehidupan setelah kematian.”
Arnes menatap lorong kosong yang memanjang di depan matanya. Angin senja menggesek dedaunan. 
“Kau punya rencana langkah berikutnya?”
Arnes menoleh menatapku. Cukup lama.
Jika seseorang membelah dadaku, pasti ia tahu bahwa hatiku sedang bimbang. Rasa pesimis dan putus asa mulai menjalar. Urat-urat percaya diri itu kini mulai melemah. Bukan aku, tapi Arnes yang memulainya. Dia yang awalnya menanamkan keyakinan, lantas kini dia membunuhnya. Tidak dengan pisau, tapi dengan mencerabut akar semangat yang tumbuh di dadanya sendiri. 
Aku mengambil poster di tangannya. Sudah cukup lama hening menyiksa. Jika harus berhenti, seharusnya tidak ada lagi lembar-lembar poster di atas meja. Aku menarik nafas. Diam-diam menghitung detik. Jika pada hitungan ketiga Arnes belum juga membuka suara, aku positif merobeknya. Satu... Dua...     
“Ada satu cara yang belum kita coba,” Arnes mengambil poster itu dari tanganku.
Aku menghembuskan nafas pelan-pelan. Kedua bola mata Arnes bergerak-gerak seperti sedang tergelitik sesuatu yang sangat menakjubkan. Seperti mata bayi yang pukau melihat dunia.
Sinar di wajahnya menjilat-jilat seperti lidah api. Sumringah. Air mukanya meletup-letup. Ini yang aku tunggu, silau matahari yang cerlang di matanya. Berhari-hari ia seolah tenggelam ke dalam poster. Terlarut ke dalam tulisan yang terabaikan. Tapi kali ini aku mendapati Arnes yang berbeda. Manusia penuh kejutan itu sudah kembali.

***
Sepanjang sejarah umat manusia, belum pernah ada yang mampu mencipta nyawa, bahkan jika manusia dan jin bersekutu sekali pun. Setiap nyawa adalah mata air yang tak berbatas kedalamannya. Yang mengaku sayang pada nyawanya adalah yang tertib berkendara. Semestinya ditanam dalam-dalam, setiap kecelakaan, baik yang berujung maut atau tidak, bukan semata-mata kehendak Yang Abadi melainkan sebab kecerobohan diri.
Aku terkesiap saat Arnes mengatakan rencananya.
“Kita akan melakukan kampanye di gedung-gedung sekolah dan balai-balai kelurahan.”
Mendengar kalimat itu, aku seperti menemukan bara api menyala-nyala di dada Arnes. Tak pernah kudapati dia lelah atau putus asa atas pekerjaan yang belum selesai. Dia mulai bercerita akan rencana besarnya itu. Anak-anak sekolah adalah fase usia yang banyak digandrungi gengsi. Kebiasaan mereka adalah mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, jarang sekali mengenakan helm, motornya dirombak hingga menyisakan rangkaian besi yang menyerupai kerangka tengkorak.
Wajah Arnes mengawang di udara. Kedua matanya menangkap bayang-bayang kebiasaan siswa di jalan-jalan raya, sama seperti dirinya saat masih berseragam putih abu-abu. Berkendara di jalan raya seolah memacu kuda di lapangan raya. Sendiri. Sepi. Hanya ada dirinya sendiri.
Selanjutnya dia bercerita kenapa harus berkampanye di balai-balai kelurahan. Orang-orang tahu betul kegunaan mengenakan helm atau menyalakan lampu utama di siang hari. Sayangnya, mereka hanya sekadar tahu, dan sedikit sekali yang menerapkan. Dikira, mengenakan helm hanya ketika hendak pergi ke kota, itu pun karena memendam rasa takut pada seragam polisi yang berdiri di sisi jalan. Seolah polisi adalah singa hutan rimba yang kelaparan hendak menerkam.
Di kepala orang-orang lahir ketakutan akan penilangan. Aku tidak tahu pangkal ujungnya, mungkin karena tidak sedikit polisi yang mencari-cari kesalahan pengendara, lalu memerasnya. Aku pernah mengalami. Dalam perjalanan pulang ke kampung, seorang polisi mencegatku. Katanya, aku telah melanggar rambu-rambu lalu lintas. Aku dipanggil, ditilang, tanpa surat-surat. Awalnya polisi itu meminta lima puluh ribu. Aku berkelit tak punya uang. Bagaimana kalau dua puluh ribu, tawarku. Polisi itu mengangguk pelan tak keberatan. Kujulurkan selembar uang dua puluh ribuan. Aku terbebas. Polisi itu memasukkan uang kertas itu ke dalam saku celananya, diam-diam.
Kini aku tidak kaget kalau orang-orang mengenakan helm sebab takut pada polisi, bukan karena sayang pada nyawanya sendiri.
Arnes berdiri dengan tubuh tegap sempurna. Ia melangkah ke dalam rumah. Aku melihatnya dengan bibir terkatup rapat. Belum sempat aku memegang gagang gelas, dia sudah berdiri di depan mulut pintu. Melangkah mantap dengan selembar kertas dan pena.
“Kita akan membuat daftar sekolah dan kelurahan yang akan kita datangi,” katanya dengan wajah penuh kemenangan.

***
Tak ada waktu untuk tenggelam dalam keraguan. Sebab tersungkur dan jatuh untuk bangkit, bukan terkubur. Arnes telah mengalirkan listrik bertegangan tinggi ke dalam tubuhku. Semangatku terbakar, serupa nyala api yang berkobar. Dia telah melakukan hal yang benar. Membuat orang lain tergerak tanpa harus membentak.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan keringat asin yang mengalir di kening. Setiap hari Rabu, aku dan Arnes membagikan poster di jalanan. Hari Jumat melakukan kampanye di sekolah. Sedangkan hari Sabtu, kami melakukannya di balai-balai kelurahan. Kami melakukannya setiap minggu.
Kata orang, melakukan rutinitas yang sama secara terus menerus akan melahirkan kebosanan. Tapi baik aku maupun Arnes tidak menemukan kalimat itu terbukti kebenarannya. Sebab, kami melakukannya dengan ramuan cinta. Sesuatu yang tidak dilakukan dengan cinta dan kasih sayang, hanya akan melahirkan obsesi yang kalau tidak tercapai akan berujung kejenuhan. Syukur kalau hanya berujung jenuh dan bosan, sebab acapkali bila obsesi tidak tersampaikan bahkan akan berujung kematian. Menggantung diri atau sengaja menenggak racun di dalam kamar. 
Sudah hampir setahun kami melakukannya berdua. Berpindah dari persimpangan jalan yang satu ke persimpangan jalan yang lain. Berkampanye dari sekolah yang satu ke sekolah lainnya, dari sekolah negeri hingga ke sekolah swasta. Dari kelurahan di tengah kota hingga ke kelurahan di desa-desa. Aku dan Arnes, dua manusia tak punya kuasa, hanya bermodal semangat dan hati seluas samudera akhirnya mampu melakukannya. Masih terngiang sangat jelas kata-kata Arnes:
“Untuk melakukan perubahan tak butuh orang banyak, hanya perlu orang-orang yang berkomitmen pada kata-katanya sendiri.”

***
Pagi-pagi sekali aku berkendara berkeliling kota, ingin mencairkan kebekuan di kepala. Matahari baru berada pada ketinggian satu tongkat. Di bawah nyala lampu lalu lintas, sekelompok orang-orang, mungkin sebuah komunitas, membagikan poster. Aku mendekati, meminta selembar poster yang dibagi.
Aku tersenyum sendiri. Rupanya, tidak hanya Arnes yang peduli pada keamanan berkendara. Kini mulai lahir kelompok-kelompok kecil yang peduli pada sesamanya. Aku tak sabar ingin segera memberitahu kabar baik ini padanya. Dia pasti senang mendengar kabar ini.
Arnes duduk di teras rumah. Ditemani segelas kopi di atas meja. Di pangkuannya, sebuah koran terbaru.
“Kau tahu, ternyata cara kita berhasil,” aku berteriak dari halaman.
Arnes mengangkat kepala. Tatapannya berselimut asap kebingungan. Tangannya memegang gagang gelas, meminum seduhan kopi yang masih hangat.
“Tadi aku melihat orang-orang membagikan poster yang sama, seperti yang kita lakukan,” aku terkekeh. “Memang benar nasihat lama yang mengatakan, tak ada sesuatu yang sia-sia,” dada serasa penuh rasa kepuasan.
“El, kita belum berhasil!” Arnes meletakkan koran yang dibacanya.
Mendadak aku diam. Hening menjalar.
“Kita belum berhasil!” sekali lagi Arnes mengulang kata-katanya. Kepalanya menggeleng kecil. Aku masih belum mengerti entah apa yang dimaksud dengan “belum berhasil”.
Aku masih saja belum mengerti. Kata-kata Arnes seperti semak belukar. Aku tersesat di dalamnya. Aku tidak peduli. Bagiku, dia telah berhasil membuat kelompok lain sadar untuk melakukan hal yang sama. Semakin banyak orang yang melakukan penyadaran, maka akan semakin mudah melakukan perubahan.
“Kemarin, sebuah kecelakaan berantai menewaskan tiga orang pengendara sepeda motor,” Arnes manatapku dengan mata sayu. “Itu di salah satu koran, belum berita di koran lainnya. Di hari yang sama sudah terjadi sepuluh tabrakan yang berhasil diliput wartawan. Jumlah itu belum termasuk yang tidak berhasil diliput, termasuk yang terjadi di pelosok-pelosok desa.”
Mataku terbelakak. Mungkin terlalu lebai, tapi begitulah adanya. Kedua biji mataku serasa ingin meloncat keluar. Aku mengambil koran yang teronggok kaku di atas meja. Di berita itu, ditulis fakta-fakta kecelakaan yang kian meningkat saban tahun.
“Bagaimana bisa ini terjadi? Pasti ada sesuatu yang salah,” suara Arnes parau.
Aku menemukan rasa sesal di dalam matanya. Aku percaya sepenuhnya pada kata Arnes, pasti ada sesuatu yang salah. Tapi apa? Aku sempurna tidak mengerti.
“Dan kau tahu, bahkan hampir setahun kita melakukan cara ini tapi tidak sedikit pun mengurangi angka kecelakaan. Menyebar poster sudah kita lakukan, melakukan kampanye di sekolah, di kelurahan juga sudah kita lakukan, tapi kau lihat sendiri, orang mati akibat kecelakaan seperti kenyataan yang sulit dihindari.”
“Setidaknya kita sudah berusaha, dan orang-orang mulai peduli dengan apa yang kita lakukan. Kita tidak sendiri, Arnes,” aku berusaha membujuknya.
“Bukan itu tujuan kita melakukan ini! aku menginginkan orang-orang mati dengan tenang, bukan dengan jalan mati kecelakaan di tengah jalan,” Arnes mengambil koran yang kupegang. Membantingnya. Koran itu terkulai jatuh di atas lantai.  
Hening. Hanya suara jarum jam yang terdengar dari pergelangan tangan.
“Lalu apa rencana kita?” aku memberanikan diri bertanya. Siapa tahu bisa meredam emosinya yang menyala-nyala.
“Aku tidak tahu!” Arnes menggeleng.
Baru kali ini aku mendengar Arnes mengatakan tidak tahu. Sepanjang aku mengenal dirinya, ia tidak pernah menyerah pada keadaan. Baginya, setiap halangan adalah peluang. Tapi kali ini, dayanya seperti membentur bongkahan batu berlapis-lapis.
“Kau yang mengajarkanku menabung untuk kehidupan setelah kematian, lalu kau sendiri limbung dalam ketidakberdayaan,” aku kesal sendiri pada sikap Arnes yang mengerut. “Kau lupa? Di antara kita, kau yang jadi pimpinan. Anak buah sepertiku mengikuti sikap dan apa kata pimpinannya. Seharusnya kau lebih kuat dari karang di lautan!” aku kesal, sungguh sangat kesal.
Arnes diam. Tubuhnya jatuh di atas kursi.
“Nanti siang kita punya jadwal kampanye di kelurahan,” seruku pelan.
Koran itu masih terlentang di atas lantai. Aku mengambilnya, memasukkannya ke dalam kolong meja.

***
Sosialisasi aman dan tertib berkendara sudah selesai. Arnes menarik nafas panjang. Di pojok balai, seorang nenek duduk di atas kursi roda. Arnes menghampirinya.
“Sungguh mulia yang kau lakukan, Nak!” nenek itu menatap wajah Arnes. Umurnya sudah tidak jauh dari angka 70 tahun. Aku tidak tahu persis, tapi keriput di wajahnya mengabarkan angka itu.
Arnes hanya menyunggingkan senyum tipis. Getir. Aku tahu, dalam hatinya yang paling relung, dia menolak pujian itu. Di dalam kepalanya, apa yang dia lakukan selama ini hanya sia-sia. Tak berbuah. Angka kecelakaan tidak berkurang. Helm sudah dipakai, lampu utama sudah dinyalakan, rambu-rambu lalu lintas sudah dipatuhi, tapi tetap saja angka kecelakaan kian meninggi.
Pasti ada sesuatu yang salah. Kalimat itu masih belum juga menemukan jawaban. Kalaupun ada, pertanyaan itu tidak akan selesai dengan hanya satu jawaban.
Nenek itu seperti menemukan tempat untuk berbagi. Arnes menatapnya. Tak berbicara, tak bersuara, hanya menatapnya.
“Suamiku meninggal karena kecelakaan sepeda motor,” tiba-tiba dari bibirnya yang keriput, nenek itu bertutur. “Waktu itu, ia sudah tidak kuat. Kantuk menguasai kedua matanya, tapi tetap saja ia memacu laju motornya. Lampu merah menyala terang. Ia berhenti. Ketika lampu hijau kembali menyala, ia memacu motornya. Dari belakang, aku memegang erat kedua pinggangnya. Beberapa ratus meter di depan, lampu merah kembali menyala. Tapi suamiku tidak sadar, kantuk sudah menguasai kedua matanya. Ia sempat terlelap satu detik sebelum akhirnya kami menabrak pengendara motor lainnya.”
Mata Arnes berkaca-kaca. Sekuat tenaga ia berusaha agar air bening di sudut matanya tak jatuh. Nenek itu dijemput oleh seorang anak kecil, mungkin cucunya. Seulas senyum mengembang di bibirnya yang tak lagi merah.
Di tengah jalan menuju rumah, Arnes mengambil kertas dengan sebuah gambar kuda besi dan lelaki yang menunggangi di atasnya. Cukup lama dia menatap gambar itu. Sekian detik berikutnya, tangannya menepuk pundakku.
“Mengantuk bisa jadi akan membawa diri pada kematian,” serunya.