Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan’.
Sudah puluhan kali dia membolak balik poster di tangannya. Mengeja setiap kalimat, barangkali ada salah satu kata yang ketelisut. Setiap kali poster itu selesai dibagikan di simpang jalan, dia akan melihatnya kembali di beranda rumah. Seperti melihat dirinya yang lain di muka sebuah cermin. Di atas meja kusam, segelas kopi hitam menemani.
Arnes
menarik nafas panjang. Hening masih setia menggumuli udara. Dia tenggelam ke
dalam pikirannya, seolah masuk ke dalam dunia yang diciptakannya sendiri. Aku
tertegun, bingung. Sulit menemukan kata yang tepat untuk memecah balon udara
tanpa bunyi berdebum di telinga. Pada selembar kertas putih yang lain, dia
membuat oret-oretan yang tak kupahami maknanya. Tidak! Itu bukan sembarang
oretan. Arnes sedang melukis. Garis oretannya seperti sehelai benang yang
ditarik memanjang, melingkar, memadat, lantas membentuk sebuah gambar: kuda
besi dan lelaki yang menunggangi di atasnya.
Gambar itu jauh dari kata sempurna. Kertas itu dilipat dan dimasukkan ke dalam saku celananya. Dia berdiri, melangkah serupa mesin setrika. Kulitnya yang langsat berubah legam gelap. Rambutnya hitam kekuningan. Tidak benar-benar hitam, tetapi juga tidak kuning menyala. Bibirnya bergerak, seolah merapal mantra.
Gambar itu jauh dari kata sempurna. Kertas itu dilipat dan dimasukkan ke dalam saku celananya. Dia berdiri, melangkah serupa mesin setrika. Kulitnya yang langsat berubah legam gelap. Rambutnya hitam kekuningan. Tidak benar-benar hitam, tetapi juga tidak kuning menyala. Bibirnya bergerak, seolah merapal mantra.
Arnes,
lelaki berkumis tipis dengan alis menghutan. Namanya dikenal sejak gemar
membagikan poster di bawah cerlang matahari. Tak ada tanggal yang menandai aku resmi
menjadi kongsi kerjanya. Ini adalah kerjasama non profit. Keuntungannya tak
terlihat karena sebenarnya kami sedang melakukan investasi tak kasat mata.
Seperti kata Arnes, yang kami lakukan adalah sebuah cara sederhana menghindari
kematian.
Suatu
hari, dia datang ke rumah membawa setumpuk poster yang dibuatnya sendiri.
Mula-mula aku tidak percaya. Dua orang manusia yang tumbuh di tengah rerumputan
biasa seolah memiliki kuasa untuk merubah pola manusia yang membanjiri setiap
sudut kota.
“Ini
bukan persoalan posisi dan kuasa,” katanya penuh keyakinan.
“Aku
tidak yakin kita bisa melakukannya! Hanya kau dan aku,” aku menggeleng.
“Kita
tidak perlu menunggu orang banyak untuk melakukan perubahan, kita bisa
memulainya dari hal-hal kecil seperti ini,” Arnes mencoba meyakinkan.
“Orang-orang
sudah sibuk dengan hal-hal besar, uang, kehidupan, mobil dan kesejahteraan
perutnya.”
“Tapi
mereka lupa akan hal-hal kecil, bahwa kecelakaan yang sering terjadi itu bukan
semata-mata takdir Tuhan.”
“Lantas
dengan apa kita menyebutnya kalau tidak demikian?”
“Sungguh
percuma manusia diberi akal kalau menyeret setiap kejadian pada takdir,” Arnes menurunkan
volume suaranya. “Kau tahu, kita bisa menghindari kecelakaan dengan mawas diri,
mematuhi rambu-rambu lalu lintas misalnya.”
“Itu
lagu lama! Percuma! Semua orang sudah tahu teori itu, tapi nyatanya...”
“Karena
itu, aku perlu mengajak kau menyebarkan rantai kebaikan dengan langsung
menyentuh kesadaran para pengedara motor. Bagimana?”
“Caranya?”
Arnes
mengacungkan tumpukan poster yang dipegangnya tepat di pucuk hidungku.
Sebenarnya
aku masih ragu terhadap apa yang akan kami lakukan. Setiap hari orang-orang
datang ke kantor polisi membuat Surat Izin Mengemudi. Mereka diajarkan tata
tertib berkendara. Mulai dari kegunaan menyalakan lampu utama di siang hari,
menyalakan isyarat lampu setiap kali hendak berbelok atau menepi. Hampir setiap
hari orang-orang menerima pengetahuan itu. Tapi, hampir setiap hari juga
kecelakaan terjadi. Apa yang salah?
“Baiklah!
Tidak ada salahnya dicoba.”
Sejak
itu, aku menemani Arnes menyebarkan poster di setiap persimpangan jalan. Saat
lampu merah menyala, kaki Arnes begitu cekatan dan lincah melangkah. Kedua
tangannya langsung bekerja, membagikan poster yang ada di genggamannya.
Mulutnya diam tanpa berkata-kata. Mula-mula aku mengamati caranya melangkah.
Semangat yang tanpa padam menyala. Lantas pada suatu titik, aku menyalakan api
yang sama di dalam dada. Sebuah pemikiran mulai tumbuh di kepala, hidup tidak
akan selesai dengan hanya menjadi pengamat saja.
Pelan-pelan
aku melakukan hal yang sama, menyebarkan poster buatannya.
Mengenal
Arnes seperti memasuki dunia kopi, akan terasa sari-sari kenikmatannya saat
kita mulai meminumnya. Awalnya sulit menanam keyakinan, tapi Arnes melakukannya
tidak dengan hanya berkata-kata, tetapi dengan contoh nyata. Aku bisa
melihatnya setiap hari, saat dia berdiri di bawah cerlang matahari, membagikan
poster dari tangan ke tangan.
“Kenapa
kau melakukannya?” tanyaku saat kami selesai membagikan poster di persimpangan
jalan di lampu merah.
“Ini
memang tidak terlihat istimewa, tapi hatiku berdarah saat membaca berita
kecelakaan yang menewaskan seorang pengendara sepeda motor,” katanya menuju
teras rumah. Di tangan kiri tergenggam selembar poster dan segelas kopi di
tangan kanan.
Seperti
ribuan manusia lainnya, di balik dada Arnes yang berbidang terdapat segumpal
hati yang tercipta dari segumpal darah. Yang berbeda, hati Arnes sangat halus.
Sama seperti arti namaku yang lemah kembut. Seringkali dirinya tertangkap basah
sedang berurai air mata saat menonton film bernuansa sedih. Aku percaya dia
tidak berbohong saat mengatakan hatinya berdarah ketika mendengar berita
kecelakaan. Itu benar-benar terjadi dan aku melihatnya sendiri.
Jujur
saja, aku ingin melihat nyala api yang sama di mata Arnes. Seperti saat pertama
kali ia datang kepadaku, mengetuk pintu dan menawarkan kongsi kerjasama.
Aku
bergeming. Matahari senja terasa asin. Arnes tak bosan-bosan menatap poster
yang dipegangnya. Seperti sedang menelanjangi setiap kata yang dirangkainya
sendiri. Segelas kopi teronggok kaku di atas meja. Di atasnya asap putih
melayang terbang, bergoyang. Sekilas seperti perempuan bersayap kupu-kupu putih.
Aku tergoda ingin meminumnya, tapi Arnes hanya mendiamkan saja hingga
pelan-pelan asap itu terserap ke dalam udara.
Arnes
tidak hanya membuat poster dan menyebarkannya, dia juga membuat blog berisi
tulisan-tulisan tips aman berkendara. Mulai dari bentuk berita dengan melakukan
wawancara kepada narasumber terpercaya, tulisan esai, puisi hingga dalam bentuk
cerpen. Tapi upayanya menyebarkan poster seperti akar yang menjulur ke dalam
tanah dan terbentur bongkahan batu besar. Kini dia tertunduk. Dia seperti
bongkahan batu yang bisu dipeluk sepi.
“Sebuah
kematian adalah sesuatu yang niscaya, tapi kecelakaan adalah sebuah pilihan.
Walaupun sebuah pilihan, tidak ada orang yang memilih untuk celaka,
satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah dengan menghindarinya,” dia berbicara
sendiri pada selembar poster yang dipegangnya.
“Kita
sudah berhari-hari menyebarkan poster ini, apakah kau masih yakin cara ini akan
berhasil?”
“Tidak
ada yang menjamin cara ini akan berhasil. Tapi usaha dan keyakinan lebih
memberikan harapan daripada hanya berpangku tangan.”
Arnes
benar, dan aku setuju sepenuhnya.
“Kita
tidak akan kaya dengan menyebarkan poster seperti ini, tapi percayalah kita
sedang menanam benih kebaikan.”
“Serupa
menyebarkan rantai kebaikan secara pararel?” aku menelisik wajah Arnes.
Arnes
mengangguk mantap. Sebuah anggukan yang sangat dalam.
“Lalu
kapan kita akan memetik buahnya?”
Bukan
jawaban yang kuterima, tapi sebuah tatapan tajam menghujam mata. “Kau percaya
bank cicilan akhirat?”
“Aku
bahkan baru mendengarnya.”
“Aku
sudah pernah bilang, bukan? Kita sedang melakukan investasi tak kasat mata. Kita
sedang menabung untuk perjalanan panjang, sebuah kehidupan setelah kematian.”
Arnes
menatap lorong kosong yang memanjang di depan matanya. Angin senja menggesek
dedaunan.
“Kau
punya rencana langkah berikutnya?”
Arnes
menoleh menatapku. Cukup lama.
Jika
seseorang membelah dadaku, pasti ia tahu bahwa hatiku sedang bimbang. Rasa
pesimis dan putus asa mulai menjalar. Urat-urat percaya diri itu kini mulai
melemah. Bukan aku, tapi Arnes yang memulainya. Dia yang awalnya menanamkan
keyakinan, lantas kini dia membunuhnya. Tidak dengan pisau, tapi dengan
mencerabut akar semangat yang tumbuh di dadanya sendiri.
Aku
mengambil poster di tangannya. Sudah cukup lama hening menyiksa. Jika harus
berhenti, seharusnya tidak ada lagi lembar-lembar poster di atas meja. Aku
menarik nafas. Diam-diam menghitung detik. Jika pada hitungan ketiga Arnes
belum juga membuka suara, aku positif merobeknya. Satu... Dua...
“Ada
satu cara yang belum kita coba,” Arnes mengambil poster itu dari tanganku.
Aku
menghembuskan nafas pelan-pelan. Kedua bola mata Arnes bergerak-gerak seperti
sedang tergelitik sesuatu yang sangat menakjubkan. Seperti mata bayi yang pukau
melihat dunia.
Sinar
di wajahnya menjilat-jilat seperti lidah api. Sumringah. Air mukanya meletup-letup.
Ini yang aku tunggu, silau matahari yang cerlang di matanya. Berhari-hari ia seolah
tenggelam ke dalam poster. Terlarut ke dalam tulisan yang terabaikan. Tapi kali
ini aku mendapati Arnes yang berbeda. Manusia penuh kejutan itu sudah kembali.
***
Sepanjang
sejarah umat manusia, belum pernah ada yang mampu mencipta nyawa, bahkan jika
manusia dan jin bersekutu sekali pun. Setiap nyawa adalah mata air yang tak
berbatas kedalamannya. Yang mengaku sayang pada nyawanya adalah yang tertib
berkendara. Semestinya ditanam dalam-dalam, setiap kecelakaan, baik yang
berujung maut atau tidak, bukan semata-mata kehendak Yang Abadi melainkan sebab
kecerobohan diri.
Aku
terkesiap saat Arnes mengatakan rencananya.
“Kita
akan melakukan kampanye di gedung-gedung sekolah dan balai-balai kelurahan.”
Mendengar
kalimat itu, aku seperti menemukan bara api menyala-nyala di dada Arnes. Tak
pernah kudapati dia lelah atau putus asa atas pekerjaan yang belum selesai. Dia
mulai bercerita akan rencana besarnya itu. Anak-anak sekolah adalah fase usia
yang banyak digandrungi gengsi. Kebiasaan mereka adalah mengendarai motor
dengan kecepatan tinggi, jarang sekali mengenakan helm, motornya dirombak hingga
menyisakan rangkaian besi yang menyerupai kerangka tengkorak.
Wajah
Arnes mengawang di udara. Kedua matanya menangkap bayang-bayang kebiasaan siswa
di jalan-jalan raya, sama seperti dirinya saat masih berseragam putih abu-abu.
Berkendara di jalan raya seolah memacu kuda di lapangan raya. Sendiri. Sepi.
Hanya ada dirinya sendiri.
Selanjutnya
dia bercerita kenapa harus berkampanye di balai-balai kelurahan. Orang-orang
tahu betul kegunaan mengenakan helm atau menyalakan lampu utama di siang hari.
Sayangnya, mereka hanya sekadar tahu, dan sedikit sekali yang menerapkan.
Dikira, mengenakan helm hanya ketika hendak pergi ke kota, itu pun karena
memendam rasa takut pada seragam polisi yang berdiri di sisi jalan. Seolah
polisi adalah singa hutan rimba yang kelaparan hendak menerkam.
Di
kepala orang-orang lahir ketakutan akan penilangan. Aku tidak tahu pangkal
ujungnya, mungkin karena tidak sedikit polisi yang mencari-cari kesalahan
pengendara, lalu memerasnya. Aku pernah mengalami. Dalam perjalanan pulang ke
kampung, seorang polisi mencegatku. Katanya, aku telah melanggar rambu-rambu
lalu lintas. Aku dipanggil, ditilang, tanpa surat-surat. Awalnya polisi itu
meminta lima puluh ribu. Aku berkelit tak punya uang. Bagaimana kalau dua puluh
ribu, tawarku. Polisi itu mengangguk pelan tak keberatan. Kujulurkan selembar
uang dua puluh ribuan. Aku terbebas. Polisi itu memasukkan uang kertas itu ke
dalam saku celananya, diam-diam.
Kini
aku tidak kaget kalau orang-orang mengenakan helm sebab takut pada polisi,
bukan karena sayang pada nyawanya sendiri.
Arnes
berdiri dengan tubuh tegap sempurna. Ia melangkah ke dalam rumah. Aku
melihatnya dengan bibir terkatup rapat. Belum sempat aku memegang gagang gelas,
dia sudah berdiri di depan mulut pintu. Melangkah mantap dengan selembar kertas
dan pena.
“Kita
akan membuat daftar sekolah dan kelurahan yang akan kita datangi,” katanya
dengan wajah penuh kemenangan.
***
Tak
ada waktu untuk tenggelam dalam keraguan. Sebab tersungkur dan jatuh untuk
bangkit, bukan terkubur. Arnes telah mengalirkan listrik bertegangan tinggi ke
dalam tubuhku. Semangatku terbakar, serupa nyala api yang berkobar. Dia telah
melakukan hal yang benar. Membuat orang lain tergerak tanpa harus membentak.
Hari-hari
berikutnya berlalu dengan keringat asin yang mengalir di kening. Setiap hari
Rabu, aku dan Arnes membagikan poster di jalanan. Hari Jumat melakukan kampanye
di sekolah. Sedangkan hari Sabtu, kami melakukannya di balai-balai kelurahan.
Kami melakukannya setiap minggu.
Kata
orang, melakukan rutinitas yang sama secara terus menerus akan melahirkan
kebosanan. Tapi baik aku maupun Arnes tidak menemukan kalimat itu terbukti
kebenarannya. Sebab, kami melakukannya dengan ramuan cinta. Sesuatu yang tidak
dilakukan dengan cinta dan kasih sayang, hanya akan melahirkan obsesi yang
kalau tidak tercapai akan berujung kejenuhan. Syukur kalau hanya berujung jenuh
dan bosan, sebab acapkali bila obsesi tidak tersampaikan bahkan akan berujung
kematian. Menggantung diri atau sengaja menenggak racun di dalam kamar.
Sudah
hampir setahun kami melakukannya berdua. Berpindah dari persimpangan jalan yang
satu ke persimpangan jalan yang lain. Berkampanye dari sekolah yang satu ke
sekolah lainnya, dari sekolah negeri hingga ke sekolah swasta. Dari kelurahan
di tengah kota hingga ke kelurahan di desa-desa. Aku dan Arnes, dua manusia tak
punya kuasa, hanya bermodal semangat dan hati seluas samudera akhirnya mampu
melakukannya. Masih terngiang sangat jelas kata-kata Arnes:
“Untuk
melakukan perubahan tak butuh orang banyak, hanya perlu orang-orang yang
berkomitmen pada kata-katanya sendiri.”
***
Pagi-pagi
sekali aku berkendara berkeliling kota, ingin mencairkan kebekuan di kepala.
Matahari baru berada pada ketinggian satu tongkat. Di bawah nyala lampu lalu
lintas, sekelompok orang-orang, mungkin sebuah komunitas, membagikan poster.
Aku mendekati, meminta selembar poster yang dibagi.
Aku
tersenyum sendiri. Rupanya, tidak hanya Arnes yang peduli pada keamanan
berkendara. Kini mulai lahir kelompok-kelompok kecil yang peduli pada
sesamanya. Aku tak sabar ingin segera memberitahu kabar baik ini padanya. Dia
pasti senang mendengar kabar ini.
Arnes
duduk di teras rumah. Ditemani segelas kopi di atas meja. Di pangkuannya,
sebuah koran terbaru.
“Kau
tahu, ternyata cara kita berhasil,” aku berteriak dari halaman.
Arnes
mengangkat kepala. Tatapannya berselimut asap kebingungan. Tangannya memegang
gagang gelas, meminum seduhan kopi yang masih hangat.
“Tadi
aku melihat orang-orang membagikan poster yang sama, seperti yang kita
lakukan,” aku terkekeh. “Memang benar nasihat lama yang mengatakan, tak ada
sesuatu yang sia-sia,” dada serasa penuh rasa kepuasan.
“El,
kita belum berhasil!” Arnes meletakkan koran yang dibacanya.
Mendadak
aku diam. Hening menjalar.
“Kita
belum berhasil!” sekali lagi Arnes mengulang kata-katanya. Kepalanya menggeleng
kecil. Aku masih belum mengerti entah apa yang dimaksud dengan “belum
berhasil”.
Aku
masih saja belum mengerti. Kata-kata Arnes seperti semak belukar. Aku tersesat
di dalamnya. Aku tidak peduli. Bagiku, dia telah berhasil membuat kelompok lain
sadar untuk melakukan hal yang sama. Semakin banyak orang yang melakukan
penyadaran, maka akan semakin mudah melakukan perubahan.
“Kemarin,
sebuah kecelakaan berantai menewaskan tiga orang pengendara sepeda motor,”
Arnes manatapku dengan mata sayu. “Itu di salah satu koran, belum berita di
koran lainnya. Di hari yang sama sudah terjadi sepuluh tabrakan yang berhasil
diliput wartawan. Jumlah itu belum termasuk yang tidak berhasil diliput,
termasuk yang terjadi di pelosok-pelosok desa.”
Mataku
terbelakak. Mungkin terlalu lebai, tapi begitulah adanya. Kedua biji mataku
serasa ingin meloncat keluar. Aku mengambil koran yang teronggok kaku di atas
meja. Di berita itu, ditulis fakta-fakta kecelakaan yang kian meningkat saban tahun.
“Bagaimana
bisa ini terjadi? Pasti ada sesuatu yang salah,” suara Arnes parau.
Aku
menemukan rasa sesal di dalam matanya. Aku percaya sepenuhnya pada kata Arnes,
pasti ada sesuatu yang salah. Tapi apa? Aku sempurna tidak mengerti.
“Dan
kau tahu, bahkan hampir setahun kita melakukan cara ini tapi tidak sedikit pun
mengurangi angka kecelakaan. Menyebar poster sudah kita lakukan, melakukan
kampanye di sekolah, di kelurahan juga sudah kita lakukan, tapi kau lihat
sendiri, orang mati akibat kecelakaan seperti kenyataan yang sulit dihindari.”
“Setidaknya
kita sudah berusaha, dan orang-orang mulai peduli dengan apa yang kita lakukan.
Kita tidak sendiri, Arnes,” aku berusaha membujuknya.
“Bukan
itu tujuan kita melakukan ini! aku menginginkan orang-orang mati dengan tenang,
bukan dengan jalan mati kecelakaan di tengah jalan,” Arnes mengambil koran yang
kupegang. Membantingnya. Koran itu terkulai jatuh di atas lantai.
Hening.
Hanya suara jarum jam yang terdengar dari pergelangan tangan.
“Lalu
apa rencana kita?” aku memberanikan diri bertanya. Siapa tahu bisa meredam
emosinya yang menyala-nyala.
“Aku
tidak tahu!” Arnes menggeleng.
Baru
kali ini aku mendengar Arnes mengatakan tidak tahu. Sepanjang aku mengenal
dirinya, ia tidak pernah menyerah pada keadaan. Baginya, setiap halangan adalah
peluang. Tapi kali ini, dayanya seperti membentur bongkahan batu
berlapis-lapis.
“Kau
yang mengajarkanku menabung untuk kehidupan setelah kematian, lalu kau sendiri
limbung dalam ketidakberdayaan,” aku kesal sendiri pada sikap Arnes yang
mengerut. “Kau lupa? Di antara kita, kau yang jadi pimpinan. Anak buah
sepertiku mengikuti sikap dan apa kata pimpinannya. Seharusnya kau lebih kuat
dari karang di lautan!” aku kesal, sungguh sangat kesal.
Arnes
diam. Tubuhnya jatuh di atas kursi.
“Nanti
siang kita punya jadwal kampanye di kelurahan,” seruku pelan.
Koran
itu masih terlentang di atas lantai. Aku mengambilnya, memasukkannya ke dalam
kolong meja.
***
Sosialisasi
aman dan tertib berkendara sudah selesai. Arnes menarik nafas panjang. Di pojok
balai, seorang nenek duduk di atas kursi roda. Arnes menghampirinya.
“Sungguh
mulia yang kau lakukan, Nak!” nenek itu menatap wajah Arnes. Umurnya sudah
tidak jauh dari angka 70 tahun. Aku tidak tahu persis, tapi keriput di wajahnya
mengabarkan angka itu.
Arnes
hanya menyunggingkan senyum tipis. Getir. Aku tahu, dalam hatinya yang paling
relung, dia menolak pujian itu. Di dalam kepalanya, apa yang dia lakukan selama
ini hanya sia-sia. Tak berbuah. Angka kecelakaan tidak berkurang. Helm sudah
dipakai, lampu utama sudah dinyalakan, rambu-rambu lalu lintas sudah dipatuhi,
tapi tetap saja angka kecelakaan kian meninggi.
Pasti ada sesuatu yang salah. Kalimat itu masih belum juga menemukan
jawaban. Kalaupun ada, pertanyaan itu tidak akan selesai dengan hanya satu
jawaban.
Nenek
itu seperti menemukan tempat untuk berbagi. Arnes menatapnya. Tak berbicara,
tak bersuara, hanya menatapnya.
“Suamiku
meninggal karena kecelakaan sepeda motor,” tiba-tiba dari bibirnya yang
keriput, nenek itu bertutur. “Waktu itu, ia sudah tidak kuat. Kantuk menguasai
kedua matanya, tapi tetap saja ia memacu laju motornya. Lampu merah menyala
terang. Ia berhenti. Ketika lampu hijau kembali menyala, ia memacu motornya. Dari
belakang, aku memegang erat kedua pinggangnya. Beberapa ratus meter di depan,
lampu merah kembali menyala. Tapi suamiku tidak sadar, kantuk sudah menguasai
kedua matanya. Ia sempat terlelap satu detik sebelum akhirnya kami menabrak
pengendara motor lainnya.”
Mata
Arnes berkaca-kaca. Sekuat tenaga ia berusaha agar air bening di sudut matanya
tak jatuh. Nenek itu dijemput oleh seorang anak kecil, mungkin cucunya. Seulas
senyum mengembang di bibirnya yang tak lagi merah.
Di
tengah jalan menuju rumah, Arnes mengambil kertas dengan sebuah gambar kuda
besi dan lelaki yang menunggangi di atasnya. Cukup lama dia menatap gambar itu.
Sekian detik berikutnya, tangannya menepuk pundakku.
“Mengantuk bisa jadi
akan membawa diri pada kematian,” serunya.