Sepenggal Cinta untuk Dee -->

Advertisement

Sepenggal Cinta untuk Dee

Latif Fianto
Saturday, December 6, 2014



“Woy, siapa yang belum comment punyaku?”kata Pipit menghadap teman-teman yang masih sibuk dengan penanya masing-masing. Ia menghempaskan tubuhnya pada sebuah kursi panjang yang terbuat dari anyaman bambu. Dewi yang berada di sampingnya meringis terkena hempasan tubuh besar Pipit.
“Maaf,, hehe” katanya sambil nyengir. Matanya menyisir semua teman-teman yang duduk di sepanjang kursi.
“Mr. Fatih sudah comment belum?” tanyanya padaku.
“Iya udah tadi, Pit!” jawabku.
“Yang belum comment punya Pipit comment ya..!” katanya sambil berlalu. Ia berpindah ke kursi di pojok kanan. Mencari kertasnya mungkin.
Malam yang dingin. Padahal seharian tadi hujan tak turun. Petang baru menggenang di pelupuk mata saat aku, Usep, Yoga, Musfia, Sayenti dan Dwi tiba di warung ini. Sebuah warung yang terlalu sederhana untuk dikatakan sebuah kafe. Kursi dan mejanya terbuat dari anyaman bambu. Pagar, tempat kasir, dan atap menyerupai rumah tradisional.
Warung nongkrong ini berbentuk persegi panjang. Di setiap pinggirnya ada kursi dan meja yang muat untuk empat orang. Di tengah halaman dari warung nongkrong ini dibiarkan tanpa atap.
Saat tiba di pintu masuk, mataku langsung tertuju pada dua pasang pengantin baru. Mr. Erwan dan Miss Titus. Baru sebulan mereka menikah setelah sekian lama curi-curi kesempatan menghabiskan waktu berdua. Untuk sekadar menikmati rindu yang setiap hari hanya bisa bertatap ala kadarnya saja.
Mereka duduk di bawah temaram lampu yang menyala. Ditemani Desta, Ikhsan dan Affany yang sudah lebih dulu datang dari pada kami. Mr. Erwan dan Miss Titus tengah menikmati makanan yang lahir dari peradaban modern. Pada sebuah lepek dengan sendok di tangan kiri dan kanan. Terlihat lebih sempurna dengan minuman yang tersedu dalam dua gelas mungil di depan mereka.
Miss Titus adalah wali kelas kami di kelas D. Sebuah kelas kursus bahasa Inggris di kota Pare. Kami sengaja mengundangnya untuk menghabiskan malam terkahir kami bersamanya. Wali kelas yang sekaligus guru tercantik di lembaga kursusan kami. Usep, ketua kelas D tadi sore sudah mengundangnya lewat BBM. Ah, lagi-lagi ini adalah produk peradaban modern. Sebuah pengiriman pesan yang lebih elit dari Short Message Service. Perangkatnya menggunakan layanan internet yang terhubung ke seluruh dunia.
Dari percakapan tadi sore, selepas mengajar di Kediri, Miss Titus berjanji langsungmeluncur ke Bambu Town bersama laki-laki yang telah menjadi imamnya itu. Laki-laki yang begitu sempurna di matanya. Seperti Rama di mata Shinta. Seperti Romeo di pelukan cinta Juliet. Seperti Yusuf yang membuat Zulaikha lemah tak berdaya ingin segera menjadi yang halal bagi putra Ya’kub itu.
Mr. Erwan, laki-laki yang mendadak menjadi perbincangan di kelas D karena berhasil mempersunting putri terbaik pemilik lembaga kursus. Laki-laki yang indah dalam mengajar sehingga pelajaran grammar terasa indah dan elok untuk dipelajari. Walaupun terkadang kami harus berjibaku dengan enam belas tenses, passive voice dan new consept. Dan yang paling parah dalam urusan new consept adalah Usep dan Mansur. Acapkali mereka sulit berkompromi dengan setoran hafalan.
Setelah bersalaman dan say hello, aku duduk di kursi yang terbuat dari beton. Sebuah kursi yang berada di tengah, persis seorang direktur perusahaan yang akan memimpin sebuah rapat. Usep memilih duduk di ujung kursi, bersebelahan dengan Ikhsan. Sedangkan Yoga duduk di sebelah Affany yang berhadap-hadapan dengan Mr. Erwan dan Miss Titus. Lalu diikuti Musfia, Sayenti dan Dwi.
Tiga nama cewek terakhir yag aku sebut tadi tinggal di Alif House. Sebenarnya berempat dengan Dewi, tapi dia belum datang. Sebelum berangkat, tadi aku lihat ia sedang sibuk mengurus memory book. Empat gadis ini memiliki keistimewannya masing-masing. Musfia, paling tidak suka aku lihat saat dia latihan drama. Sayenti, selalu memainkan bibirnya dengan menghembuskan nafas yang diarahkan ke atas, tepat ke arah keningnya. Dewi memiliki suara unik dan paras wajah yang tak kalah cantiknya. Terakhir Dwi, ia memiliki mata yang indah, mata kucing. Coba saja lihat saat tidak memakai kacamata.
Petang semakin merangkak maju. Lampu di atas ubun-ubun kami semakin menyala seiring petang yang semakin gelap. Dingin semakin gencar menyerang tubuhku. Sesekali Miss Titus berbisik kepada suaminya. Entah angin apa yang membuatku tertarik untuk memperhatikan pasangan muda ini. Wajah mereka semakin menyala. Seterang cahaya lampu yang tergantung khidmat di atas mereka. Desta dan Ikhsan sibuk mempermainkan layar telpon selulernya. Usep juga sama, jari-jari jempolnya bergoyang ke atas ke bawah memainkan layar Hpnya. Seperti sedang mengelus-elus tubuh kekasihnya yang seksi berwarna gelap itu.
Tak ada kata yang terucap. Hanya mata yang sesekali bertemu dalam satu tatapan kosong. Aku tahu, ada yang berbeda malam ini. Tidak seperti keceriaan di Guwa Surowono tadi siang. Saat senyum dan tawa bersatu dengan air yang membasahi tubuh kami.
Sunyi akhirnya pecah bersama suara derap langkah kaki yang berasal dari belakangku. Rohma, Fira, Bielda, Nayla, Dewi dan Pipit tiba. Setelah itu disusul Afif bersama Irvan, Dhani, Itmam, Alif dan Mansur.
Rohma dan Fira adalah dua gadis cantik dan manis di kelas kami. Mereka sering berjalan berdua. Malam ini mereka duduk bersebelahan di samping Mr. Erwan. Disusul Dewi yang juga duduk di paling ujung, di sebelah Rohma, dekat denganku. Nayla duduk di ujung timur meja kami yang berbentuk persegi panjang, lurus denganku.Gadis berkacamata ini berpenampilan Romeo, berjiwa Juliet dan tentang suaranya, aku yakin kami tidak akanpernah ada yang bisa melupakannya. The SexyVoice, begitu kita memanggilnya.
Di sebelah kanan Nayla, ada Mansur yang duduk di sebelah Affany. Matanya sesekali terlihat ingin meloncat keluar saat melihatku berada lebih dekat dengan Rohma. Aku hanya tersenyum dan membuang muka. Menepis segala bentuk getaran yang timbul tenggelam dalam dada.
Aku tahu persis, Mansur sangat menyukai Rohma. Gadis yang di matanya sangat cantik mempesona. Gadis bertubuh cemara, berbibir batu rubi, berwajah purnama, bermata pelangi ini menyihir setiap lelaki yang menatapnya. Tidak terlalu banyak sikap. Hanya diam dan tersenyum, sudah cukup untuk membuat semua cowok blingsatan ingin mendekati. Dan Mansur adalah korban nyata dari sihir kecantikan Rohma. Malam ini, mungkin saja Mansur mempersiapkan kejutan besar untuk gadis yang dicintainya itu.
Lain Mansur, lain Desta. Tapi masalah mereka sama, cinta. Desta sangat menyukai Fira. Gadis manis bermata elang yang tatapannya seringkali menusuk menghujam mataku. Diam-diam Desta sering memperhatikan Fira. Seperti aku yang juga memperhatikan gadis tercantik diantara teman kita malam ini. Foto, video dan segala bentuk barang dan kegiatan yang berkaitan dengan Fira selalu menarik perhatian Desta. Seperti biasa, diantara mereka tidak terlalu banyak percakapan.
Afif, Irvan, Dhani dan Itmam duduk di meja nomor tiga. Sedangkan Bielda, Pipit dan Alif duduk di kursi, entah nomor berapa. Pokoknya mereka duduk di meja pojok sebelah kanan dari arah kami duduk.
Malam ini para gadis begitu cantik di mataku. Menjelma bidadari yang satu sama lain berbeda. Mungkin karena aku memakai kacamata kelelakianku. Walaupun sebenarnya, ada yang paling cantik malam ini. Tak usah ramai, karena diam-diam aku sering memperhatikannya. Karena diam-diam aku menyukainya.
Oh iya, aku lupa mengatakan bahwa Irvan, Itmam dan Dhani adalah tiga cowok ganteng dan maco di kelas kami. Mereka selalu bersama kemana pun dan dimana pun. Nyaris mirip Boy Band asal Korea. Hanya saja mereka tidak terlalu tinggi dan putih. Diantara mereka bertiga, ada satu cowok yang paling susah untuk tersenyum. Senyumnya terlalu mahal untuk dinikmati oleh kami. Dhany, namanya. Cowok cool dan modis, katanya.
Satu hal lagi, di kelas kami yang sering menjadi topik hangat dan bahan gosip adalah aku dan Usep. Mata yang milihat kami adalah tatapan mata yang menggoda. Apalagi Dwi kalau sudah melihat kami berjalan berdua, pasti akan bilang,
“Cieee, cieee, Mr. Usep sama Mr. Fatih...” dan selanjutnya disusul tawanya yang renyah. Serenyah peyek mak Pecel, langganan sarapan pagi kami.
Godaan paling mematikan pasti datang dari siapa lagi kalau bukan Miss Titus. Guru cantik yang di awal perkenalan kelas menjadi rebutan cowok-cowok. Semua cowok di kelas kami memperbutkan perhatiannya. Tetapi setelah tahu bahwa satu-satunya raja di hati Miss Titus adalah Mr. Erwan, perlahan tapi pasti satu persatu dari mereka mundur secara teratur.
“Si Usep ini kalau tidak ada Fatih, pasti mukanya suram. Kenapa, Sep?” kata Miss Titus di sela-sela mengajarnya. Dan masih banyak lagi godaan-godaan yang diarahkan pada kami. Ah, sungguh terlalu!
Usep adalah pribadi pemimpin paling gokil yang pernah aku temui. Dari saking gokilnya, hingga teman-teman mengatakan masih kekanak-kanakan. Aku tidak terlalu peduli tentang itu. Yang aku tahu, Usep teman sekaligus sahabat bagiku. Teman yang baik yang peduli pada orang lain.
Pada suatu malam yang dingin, kami dipertemukan dalam sebuah diskusi tentang pengalaman hidup, di teras apartement. Meski sebenarnya umur kami tidak jauh berbeda. Kami dilahirkan di tahun yang sama namun pada bulan yang berbeda. Usep lebih tua kurang lebih empat bulan daripada aku. Kami berbicara banyak tentang pengetahuan, cara membaca yang baik dan efektif. Tentang bagaimana belajar menyukai aktivitas membaca, yang bagi Usep sangat sulit dilakukan.
“Bagiku, membaca itu seperti makan. Otak juga butuh makanan. Makanan yang bergizi, dan jarang sekali orang yang bisa melakukan itu.” Kataku malam itu.
“Tapi susah memulainya, Mr.. kadang juga bingung mau membaca jenis bacaan yang mana.” Keluhnya padaku.
“Tidak usah bingung! Karena hidup itu tergantung bagaimana pikiran kita menerjemahkannya. Kalau sudah berpikir sulit sebelum memulai, maka kita akan menuai kesulitan. Itu seperti menyerah sebelum berperang. Pakailah paradigma berpikir yang positif!”
“Lalu bagaimana untuk menyukai membaca?”
“Menurutku, entah menurut orang lain, bagi seorang pemula bacalah apa yang paling disukai dulu. Kalau tidak ada yang disukai dari semua jenis bacaan, belajarlah menyukai satu jenis bacaan. Jangan berpikir mengerti atau tidaknya kita terhadap bacaan itu, tetapi hal pertama yang harus kita lakukan adalah membaca, membaca dan membaca!”
Malam itu kami menghabiskan waktu sampai larut malam. Sampai kantuk menyerang kelopak mata hingga tak mampu lagi diangkat ke atas. Mulai malam itu, kami mengerti kekurangan dan kelebihan kami masing-masing. Kami lebih sering bersama tanpa ada alasan yang tepat untuk menjelaskannya kepada teman-teman yang lain. Yang aku tahu, partner sangat berarti dalam perjalanan melalui lika liku kehidupan ini. Dan Usep bukan sekadar partner, tetapi juga seorang sahabat. Tidak perlu menjadi orang lain untuk memberikan kesan terbaik pada orang lain. Dan Usep sudah berhasil menjadi dirinya sendiri.
Aku cukup tahu usahanya untuk menguasai bahasa Inggris. Bahasa internasional yang acapkali menghantui otak yang mamu mempelajarinya. Usep harus terseok-seok memahami grammar, menghafal new consept dan memberikan speech di depan semua siswa saat pelajaran Miss Sity.
Ya Miss Sity. Salah satu guru di kelas kami yang memiliki wajah manis. Semanis senyumnya. Semanis cubitannya yang kadang-kadang mendarat di kulit kami. Aku memanggilnya The Killer Teacher. Ya, seorang guru yang tidak pernah mengenal kata kompromi untuk memberikan hukuman pada siswanya yang terlambat. Tapi, akhirnya kami mengerti bahwa ia menginginkan kami disiplin menghargai waktu.
Kembali ke Usep. Aku cukup tahu ia telah mengahbiskan waktu bermalam-malam untuk menghafalkan speech yang akan di sampaikan di weekly meeting. Memintaku mengoreksi pronounciation-nya. Di dalam kamar, ia berdiri menghadapku. Menghafalkan speech seperti sama susahnya dengan menyulam benang basah. Kemana-mana membawa buku vocabulary kecil. Sesekali matanya memejam menghafalkan idiom kata di dalam buku kecil yang dibawanya. Itu adalah sebuah perjuangan yang tak ternilai harganya. Ia begitu mencintai sebuah proses. Walaupun tidak jarang putus asa menyerang dirinya. Jatuh, bangun, jatuh lagi, bangun lagi, jatuh lagi, bangun lagi, sampai akhirnya malam ini kulihat matanya berkaca-kaca di tempat duduknya. Ia tidak banyak bicara seperti biasanya.
Aku tak tahu persis apa yang ia pikirkan. Yang jelas, sikapnya yang konyol, tingkahnya yang kekanak-kanakan dan terkadang membuat kami jengkel itu adalah bentuk kecintaannya pada kita. Bentuk kepeduliannya kepada kita. Sebuah bentuk cinta dari sisi yang lain. Dan kami tahu, malam ini kami harus segera mengakhiri pertemuan manis kami selama tiga bulan. Tidak ada yang menyedihkan selain perpisahan dari sebuah pertemuan yang begitu indah.
Satu persatu kutatap wajah teman-teman. Wajah-wajah yang sebentar lagi akan menjadi kenangan. Tapi ada sesuatu yang aneh. Aku tidak mendapati wajah Runa dan Deni. Kemana mereka. Sayang sekali mereka tidak datang. Padahal ini adalah kesempatan terakhir untuk menikmati senyum dan tawa kita. Senyum dan tawa persahabatan dan juga cinta yang sudah lama aku impikan.
“Teman-teman, nanti di lembar kertas ini kita tuliskan pesan dan kesan kita kepada nama-nama yang sudah tertulis di kertas itu!” kata Bielda berdiri di belakang Yoga sambil membagikan kertas dan pena. Pipit juga ikut membantu membagi kertas putih itu.
“Tapi mohon maaf, penanya cuma ada beberapa, jadi tidak apa-apa ya nanti gantian,” tambah Bielda sambil menyuggingkan senyum.
Setelah masing-masing diantara kita menerimakertas sesuai dengan nama masing-masing, lalu kertas digeser ke kanan. Mulailah kita sibuk dengan pikiran kita masing-masing. Makanan dan minuman yang sudah tersedia di meja terlupakan. Semua fokus pada pikiran masing-masing.
“Diberi nama apa nggak neh?” kata Rohma.
“Nggak usahlah biar surprise,” seseorang menimpali.
“Diberi nama aja!” Afif menyahut dari kursi nomor tiga.
Entah siapa yang lebih dulu memutuskan, kita telah sepakat untuk memberikan nama pada pesan dan kesan yang kita tulis di kertas teman kita.
“Wah soalnya sulit neh, sampek lama nulisnya,” ucap Afif yang disusul tawa oleh yang lain.
Petang semakin beranjak. Dingin semakin menusuk pori-pori, hingga ke tulang. Miss Titus dan Mr. Erwan minta izin pulang lebih dulu. Setelah dari kasir, Miss Titus berbisik kecil di telinga Usep. Usep hanya menganga dan kemudian gugup mengangguk.
“Mr. Fatih belum comment punyaku, comment dulu Mr. buat kenang-kenangan,” kata Irvan. Ia menyodorkan kertas yang dipegangnya kepadaku.
Aku mengambil kertas dari tangan Irvan. Setelah itu, mataku tertarik pada sebuah pemandangan menggelitik di depanku. Mansur sedang duduk bersebelahan dengan Rohma. Samar-samar aku mendengar percakapan mereka, tapi tidak terlalu jelas. Di sebelah Mansur, duduk juga Desta yang berbincang dengan Fira. Ah, mungkinkah ini menjadi ending yang sempurna bagi mereka.
Aku hanya tersenyum sendiri mengingat tingkah teman-teman selama tiga bulan yang akhirnya berujung pada malam ini. Malam terakhir kita di Bambu Town. Diantara senyum teman-teman yang masih malu-malu, ada kegelisahan yang tiba-tiba meletup-letup. Letupan yang semakin sempurna saat Mansur memberikan seuntai dedaunan hijau pada Rohma, dan Desta semakin tersenyum lebar menatap wajah manis Fira.
Oh my God! Diantara senyum mereka ada mata yang berkaca-kaca. Ada keristal-keristal bening yang segera ingin tumpah dari sudut mata. Ini adalah kenyataan yang akan segera menjadi kenangan. Terlalu singkat untuk sebuah pertemuan yang sangat indah. Ini terlalu manis untuk kami akhiri. Tapi, matahari esok pagi telah menunggu kami di dermaga yang baru.
Selain kata “Selamat Tinggal”, kata apa yang tepat untuk aku katakan padamu, pada kalian. Sebab, apapun bentuk pertemuan ini, kita tetap harus berpisah. Mengejar silau matahari yang sudah menunggu kita di hari esok. Walaupun sebenarnya, ada banyak hal yang masih belum sempat aku katakan padamu. Tentang sebuah gubuk rasa yang pelan-pelan berdiri kokoh di sisi jiwa.
Aku tak tahu harus memulai dari mana, Dee. Mata tiba-tiba sembabatas sebuah alasan yang tidak dimengerti. Hanya menghitung langkah dan mata kita tak kan lagi bisa bertatap. Tangan tak kan lagi bisa berpegang. Ini sepenggal rasa buat engkau. Orang-orang baru yang tiba-tiba menjadi keluargabaru; teman, sahabat, partner, yang terkadang entah alasan apasaling curi-curi pandang. Menahan senyum dan tawa untuk sebuah gojlokanyang masih samar-samar untuk menyebutnyacinta.
Aku masih belum percayaperahu kita sudah mencium bibir dermaga. Seperti gulungan ombak yang saling berkejaran yang pada akhirnya mengecup bibir pantai. Lalu air mata bercucuran. Tumpah ruah berumah-rumah. Padahal masih hangat di pelupuk mata tentang kebersamaan tadi siang. Saat kita berdiridan kadang-kadang berjongkok melewati lorongguwayang di bawahnya mengalir air kebersamaan. Mencipratkanya ke muka dan tubuhku, engkau: kita.
Sekali lagi, pelan-pelan aku menyisir wajah kalian satu persatu. Menangkapnya menjadi memori indah sepanjang sejarah. Sepanjang nafas ini masih bertahan di tenggorokan. Sepanjang tatapan tajammu masih tetap untukku.
Diantara wajah-wajah itu, aku mendapati senyum yang nyaris sempurna dari seorang gadis berparas elok. Kerudungnya nyaris serasi dengan bibirnya yang batu rubi. Senyumnya masih malu-malu menerima sebuah untaian bunga, maksudnya. Tapinyatanya sebuah dedaunan hijau yang baru dipetikdari rantingnya. Dari seorang pria yangmengangkatnya jadi ratu di hatinya. Ah aku curiga;itu pasti tentang ungkapan rasa yang barumenemukan jalannya, meski mungkin tak sempurna.
Aku tenggelam dalam pusaran artimatika rasa malam ini. Melihat wajah yang bahagia, aku memilih untuk tenggelam dalam pusaran imajenasiku sendiri. Merangkum semua asa yang pernah kurajut bersama keping-keping rasa yang gagal utuh di akhir cerita.
Malam sudah semakain larut. Jarum jam di pergelangan tanganku sudah dalam perjalanan menuju angka sepuluh. Sebuah angka yang memaksa Bielda harus segera pulang dan mengakhiri perjamuan malam ini. Aku tak tahan melihat wajahnya yang dirundung kekhawatiran. Tak ada lagi senyum dan tawa, sebab yang ada adalah keinginan untuk segera pulang memenuhi janji pada ayah dan mamanya untuk tak pulang larut malam.
“Ayo kita pulang, kasihan Bielda sudah nunggu dari tadi. Yang masih mau disini tidak apa-apa tuntaskan dulu,” ajakku pada teman-teman.
Akhirnya, malam ini kita benar-benar harus berpisah. Menanggalkan isak tangis pada malam yang menggigil.
Oh iya, aku lupa. Malam ini aku ingin mengatakan selamat tinggal untuk kalian. Untuk semua kenangan manis yang kita cipta selama tiga bulan. Tentang semua kesalahan yang tidak berkenan di hati kalian, sudilah memberi maaf padaku. Pada semua teman kita yang memiliki khilaf, baik disengaja ataupun tidak.
Kepada semua guru di kelas D, aku dan teman-teman ingin memelukmu lebih lama. Tapi apalah daya tangan tak sampai. Kami harus memeluk sesuatu yang lain, yang masih terbentang luas di depan kami. Biarlah senyum dan duka diantara kita menjadi kenangan terindah yang tak kan pernah ada duanya. Dari hati yang paling relung, kami memohon maafmu jika selama tiga bulan kami menabur duri di hatimu. Spesial untuk Miss Titus dan teman-temanku, terima kasih atas perayaan ulang tahun paling istimewa yang kalian berikan padaku, Usep, Irvan dan Affany. Kami tidak sempat membalasnya dengan mentraktir kalian di sebuah kafe sederhana sekali pun. Dan untuk kita semua, mari kita bersulang atas nama cinta dan kebersamaan yang sudah tercipta diantara kita. 
Dee, ini sepenggal cinta untuk engkau. Untuk semua tawa, senyum, kedongkolan, kemarahan, matamu yang elang, bibirmu yang bermadu, dan semua tentang kita akan tersimpan rapi di gelas otakku. Tak usah ada tangis. Tak usah ada air mata. Cukup tersenyum dan nikmati, itu saja!.

Pare, November 2014
Penulis: Latif Fianto El Fath