“Woy, siapa yang belum comment punyaku?”kata Pipit menghadap teman-teman yang masih sibuk dengan penanya masing-masing. Ia menghempaskan tubuhnya pada sebuah kursi panjang yang terbuat dari anyaman bambu. Dewi yang berada di sampingnya meringis terkena hempasan tubuh besar Pipit.
“Maaf,, hehe” katanya sambil
nyengir. Matanya menyisir semua teman-teman yang duduk di sepanjang kursi.
“Mr. Fatih sudah comment belum?” tanyanya padaku.
“Iya udah tadi, Pit!” jawabku.
“Yang belum comment punya Pipit comment
ya..!” katanya sambil berlalu. Ia berpindah ke kursi di pojok kanan. Mencari
kertasnya mungkin.
Malam yang dingin. Padahal
seharian tadi hujan tak turun. Petang baru menggenang di pelupuk mata saat aku,
Usep, Yoga, Musfia, Sayenti dan Dwi tiba di warung ini. Sebuah warung yang
terlalu sederhana untuk dikatakan sebuah kafe. Kursi dan mejanya terbuat dari
anyaman bambu. Pagar, tempat kasir, dan atap menyerupai rumah tradisional.
Warung nongkrong ini berbentuk
persegi panjang. Di setiap pinggirnya ada kursi dan meja yang muat untuk empat
orang. Di tengah halaman dari warung nongkrong ini dibiarkan tanpa atap.
Saat tiba di pintu masuk, mataku
langsung tertuju pada dua pasang pengantin baru. Mr. Erwan dan Miss Titus. Baru
sebulan mereka menikah setelah sekian lama curi-curi kesempatan menghabiskan
waktu berdua. Untuk sekadar menikmati rindu yang setiap hari hanya bisa
bertatap ala kadarnya saja.
Mereka duduk di bawah temaram
lampu yang menyala. Ditemani Desta, Ikhsan dan Affany yang sudah lebih dulu
datang dari pada kami. Mr. Erwan dan Miss Titus tengah menikmati makanan yang
lahir dari peradaban modern. Pada sebuah lepek dengan sendok di tangan kiri dan
kanan. Terlihat lebih sempurna dengan minuman yang tersedu dalam dua gelas
mungil di depan mereka.
Miss Titus adalah wali kelas kami
di kelas D. Sebuah kelas kursus bahasa Inggris di kota Pare. Kami sengaja
mengundangnya untuk menghabiskan malam terkahir kami bersamanya. Wali kelas
yang sekaligus guru tercantik di lembaga kursusan kami. Usep, ketua kelas D
tadi sore sudah mengundangnya lewat BBM. Ah, lagi-lagi ini adalah produk
peradaban modern. Sebuah pengiriman pesan yang lebih elit dari Short Message Service. Perangkatnya
menggunakan layanan internet yang terhubung ke seluruh dunia.
Dari percakapan tadi sore,
selepas mengajar di Kediri, Miss Titus berjanji langsungmeluncur ke Bambu Town bersama
laki-laki yang telah menjadi imamnya itu. Laki-laki yang begitu sempurna di
matanya. Seperti Rama di mata Shinta. Seperti Romeo di pelukan cinta Juliet.
Seperti Yusuf yang membuat Zulaikha lemah tak berdaya ingin segera menjadi yang
halal bagi putra Ya’kub itu.
Mr. Erwan, laki-laki yang mendadak
menjadi perbincangan di kelas D karena berhasil mempersunting putri terbaik
pemilik lembaga kursus. Laki-laki yang indah dalam mengajar sehingga pelajaran grammar terasa indah dan elok untuk
dipelajari. Walaupun terkadang kami harus berjibaku dengan enam belas tenses, passive voice dan new consept.
Dan yang paling parah dalam urusan new
consept adalah Usep dan Mansur. Acapkali mereka sulit berkompromi dengan
setoran hafalan.
Setelah bersalaman dan say hello, aku duduk di kursi yang
terbuat dari beton. Sebuah kursi yang berada di tengah, persis seorang direktur
perusahaan yang akan memimpin sebuah rapat. Usep memilih duduk di ujung kursi,
bersebelahan dengan Ikhsan. Sedangkan Yoga duduk di sebelah Affany yang
berhadap-hadapan dengan Mr. Erwan dan Miss Titus. Lalu diikuti Musfia, Sayenti
dan Dwi.
Tiga nama cewek terakhir yag aku
sebut tadi tinggal di Alif House. Sebenarnya berempat dengan Dewi, tapi dia
belum datang. Sebelum berangkat, tadi aku lihat ia sedang sibuk mengurus memory book. Empat gadis ini memiliki
keistimewannya masing-masing. Musfia, paling tidak suka aku lihat saat dia
latihan drama. Sayenti, selalu memainkan bibirnya dengan menghembuskan nafas
yang diarahkan ke atas, tepat ke arah keningnya. Dewi memiliki suara unik dan
paras wajah yang tak kalah cantiknya. Terakhir Dwi, ia memiliki mata yang
indah, mata kucing. Coba saja lihat saat tidak memakai kacamata.
Petang semakin merangkak maju.
Lampu di atas ubun-ubun kami semakin menyala seiring petang yang semakin gelap.
Dingin semakin gencar menyerang tubuhku. Sesekali Miss Titus berbisik kepada
suaminya. Entah angin apa yang membuatku tertarik untuk memperhatikan pasangan
muda ini. Wajah mereka semakin menyala. Seterang cahaya lampu yang tergantung
khidmat di atas mereka. Desta dan Ikhsan sibuk mempermainkan layar telpon
selulernya. Usep juga sama, jari-jari jempolnya bergoyang ke atas ke bawah memainkan
layar Hpnya. Seperti sedang mengelus-elus tubuh kekasihnya yang seksi berwarna
gelap itu.
Tak ada kata yang terucap. Hanya
mata yang sesekali bertemu dalam satu tatapan kosong. Aku tahu, ada yang
berbeda malam ini. Tidak seperti keceriaan di Guwa Surowono tadi siang. Saat
senyum dan tawa bersatu dengan air yang membasahi tubuh kami.
Sunyi akhirnya pecah bersama
suara derap langkah kaki yang berasal dari belakangku. Rohma, Fira, Bielda, Nayla,
Dewi dan Pipit tiba. Setelah itu disusul Afif bersama Irvan, Dhani, Itmam, Alif
dan Mansur.
Rohma dan Fira adalah dua gadis
cantik dan manis di kelas kami. Mereka sering berjalan berdua. Malam ini mereka
duduk bersebelahan di samping Mr. Erwan. Disusul Dewi yang juga duduk di paling
ujung, di sebelah Rohma, dekat denganku. Nayla duduk di ujung timur meja kami
yang berbentuk persegi panjang, lurus denganku.Gadis berkacamata ini berpenampilan
Romeo, berjiwa Juliet dan tentang suaranya, aku yakin kami tidak akanpernah ada
yang bisa melupakannya. The SexyVoice, begitu kita memanggilnya.
Di sebelah kanan Nayla, ada Mansur
yang duduk di sebelah Affany. Matanya sesekali terlihat ingin meloncat keluar
saat melihatku berada lebih dekat dengan Rohma. Aku hanya tersenyum dan
membuang muka. Menepis segala bentuk getaran yang timbul tenggelam dalam dada.
Aku tahu persis, Mansur sangat
menyukai Rohma. Gadis yang di matanya sangat cantik mempesona. Gadis bertubuh
cemara, berbibir batu rubi, berwajah purnama, bermata pelangi ini menyihir
setiap lelaki yang menatapnya. Tidak terlalu banyak sikap. Hanya diam dan
tersenyum, sudah cukup untuk membuat semua cowok blingsatan ingin mendekati.
Dan Mansur adalah korban nyata dari sihir kecantikan Rohma. Malam ini, mungkin
saja Mansur mempersiapkan kejutan besar untuk gadis yang dicintainya itu.
Lain Mansur, lain Desta. Tapi
masalah mereka sama, cinta. Desta sangat menyukai Fira. Gadis manis bermata
elang yang tatapannya seringkali menusuk menghujam mataku. Diam-diam Desta
sering memperhatikan Fira. Seperti aku yang juga memperhatikan gadis tercantik
diantara teman kita malam ini. Foto, video dan segala bentuk barang dan
kegiatan yang berkaitan dengan Fira selalu menarik perhatian Desta. Seperti
biasa, diantara mereka tidak terlalu banyak percakapan.
Afif, Irvan, Dhani dan Itmam
duduk di meja nomor tiga. Sedangkan Bielda, Pipit dan Alif duduk di kursi,
entah nomor berapa. Pokoknya mereka duduk di meja pojok sebelah kanan dari arah
kami duduk.
Malam ini para gadis begitu
cantik di mataku. Menjelma bidadari yang satu sama lain berbeda. Mungkin karena
aku memakai kacamata kelelakianku. Walaupun sebenarnya, ada yang paling cantik
malam ini. Tak usah ramai, karena diam-diam aku sering memperhatikannya. Karena
diam-diam aku menyukainya.
Oh iya, aku lupa mengatakan bahwa
Irvan, Itmam dan Dhani adalah tiga cowok ganteng dan maco di kelas kami. Mereka
selalu bersama kemana pun dan dimana pun. Nyaris mirip Boy Band asal Korea. Hanya saja mereka tidak terlalu tinggi dan
putih. Diantara mereka bertiga, ada satu cowok yang paling susah untuk
tersenyum. Senyumnya terlalu mahal untuk dinikmati oleh kami. Dhany, namanya.
Cowok cool dan modis, katanya.
Satu hal lagi, di kelas kami yang
sering menjadi topik hangat dan bahan gosip adalah aku dan Usep. Mata yang milihat
kami adalah tatapan mata yang menggoda. Apalagi Dwi kalau sudah melihat kami
berjalan berdua, pasti akan bilang,
“Cieee, cieee, Mr. Usep sama Mr.
Fatih...” dan selanjutnya disusul tawanya yang renyah. Serenyah peyek mak
Pecel, langganan sarapan pagi kami.
Godaan paling mematikan pasti
datang dari siapa lagi kalau bukan Miss Titus. Guru cantik yang di awal
perkenalan kelas menjadi rebutan cowok-cowok. Semua cowok di kelas kami
memperbutkan perhatiannya. Tetapi setelah tahu bahwa satu-satunya raja di hati
Miss Titus adalah Mr. Erwan, perlahan tapi pasti satu persatu dari mereka
mundur secara teratur.
“Si Usep ini kalau tidak ada
Fatih, pasti mukanya suram. Kenapa, Sep?” kata Miss Titus di sela-sela
mengajarnya. Dan masih banyak lagi godaan-godaan yang diarahkan pada kami. Ah,
sungguh terlalu!
Usep adalah pribadi pemimpin
paling gokil yang pernah aku temui. Dari saking gokilnya, hingga teman-teman
mengatakan masih kekanak-kanakan. Aku tidak terlalu peduli tentang itu. Yang aku
tahu, Usep teman sekaligus sahabat bagiku. Teman yang baik yang peduli pada
orang lain.
Pada suatu malam yang dingin,
kami dipertemukan dalam sebuah diskusi tentang pengalaman hidup, di teras apartement. Meski sebenarnya umur kami
tidak jauh berbeda. Kami dilahirkan di tahun yang sama namun pada bulan yang
berbeda. Usep lebih tua kurang lebih empat bulan daripada aku. Kami berbicara
banyak tentang pengetahuan, cara membaca yang baik dan efektif. Tentang
bagaimana belajar menyukai aktivitas membaca, yang bagi Usep sangat sulit
dilakukan.
“Bagiku, membaca itu seperti
makan. Otak juga butuh makanan. Makanan yang bergizi, dan jarang sekali orang
yang bisa melakukan itu.” Kataku malam itu.
“Tapi susah memulainya, Mr..
kadang juga bingung mau membaca jenis bacaan yang mana.” Keluhnya padaku.
“Tidak usah bingung! Karena hidup
itu tergantung bagaimana pikiran kita menerjemahkannya. Kalau sudah berpikir
sulit sebelum memulai, maka kita akan menuai kesulitan. Itu seperti menyerah
sebelum berperang. Pakailah paradigma berpikir yang positif!”
“Lalu bagaimana untuk menyukai
membaca?”
“Menurutku, entah menurut orang
lain, bagi seorang pemula bacalah apa yang paling disukai dulu. Kalau tidak ada
yang disukai dari semua jenis bacaan, belajarlah menyukai satu jenis bacaan.
Jangan berpikir mengerti atau tidaknya kita terhadap bacaan itu, tetapi hal
pertama yang harus kita lakukan adalah membaca, membaca dan membaca!”
Malam itu kami menghabiskan waktu
sampai larut malam. Sampai kantuk menyerang kelopak mata hingga tak mampu lagi
diangkat ke atas. Mulai malam itu, kami mengerti kekurangan dan kelebihan kami
masing-masing. Kami lebih sering bersama tanpa ada alasan yang tepat untuk
menjelaskannya kepada teman-teman yang lain. Yang aku tahu, partner sangat
berarti dalam perjalanan melalui lika liku kehidupan ini. Dan Usep bukan
sekadar partner, tetapi juga seorang sahabat. Tidak perlu menjadi orang lain
untuk memberikan kesan terbaik pada orang lain. Dan Usep sudah berhasil menjadi
dirinya sendiri.
Aku cukup tahu usahanya untuk
menguasai bahasa Inggris. Bahasa internasional yang acapkali menghantui otak
yang mamu mempelajarinya. Usep harus terseok-seok memahami grammar, menghafal new
consept dan memberikan speech di
depan semua siswa saat pelajaran Miss Sity.
Ya Miss Sity. Salah satu guru di
kelas kami yang memiliki wajah manis. Semanis senyumnya. Semanis cubitannya yang
kadang-kadang mendarat di kulit kami. Aku memanggilnya The Killer Teacher. Ya, seorang guru yang tidak pernah mengenal
kata kompromi untuk memberikan hukuman pada siswanya yang terlambat. Tapi,
akhirnya kami mengerti bahwa ia menginginkan kami disiplin menghargai waktu.
Kembali ke Usep. Aku cukup tahu
ia telah mengahbiskan waktu bermalam-malam untuk menghafalkan speech yang akan di sampaikan di weekly meeting. Memintaku mengoreksi pronounciation-nya. Di dalam kamar, ia
berdiri menghadapku. Menghafalkan speech
seperti sama susahnya dengan menyulam benang basah. Kemana-mana membawa buku vocabulary kecil. Sesekali matanya
memejam menghafalkan idiom kata di dalam buku kecil yang dibawanya. Itu adalah
sebuah perjuangan yang tak ternilai harganya. Ia begitu mencintai sebuah
proses. Walaupun tidak jarang putus asa menyerang dirinya. Jatuh, bangun, jatuh
lagi, bangun lagi, jatuh lagi, bangun lagi, sampai akhirnya malam ini kulihat
matanya berkaca-kaca di tempat duduknya. Ia tidak banyak bicara seperti
biasanya.
Aku tak tahu persis apa yang ia
pikirkan. Yang jelas, sikapnya yang konyol, tingkahnya yang kekanak-kanakan dan
terkadang membuat kami jengkel itu adalah bentuk kecintaannya pada kita. Bentuk
kepeduliannya kepada kita. Sebuah bentuk cinta dari sisi yang lain. Dan kami
tahu, malam ini kami harus segera mengakhiri pertemuan manis kami selama tiga
bulan. Tidak ada yang menyedihkan selain perpisahan dari sebuah pertemuan yang
begitu indah.
Satu persatu kutatap wajah teman-teman.
Wajah-wajah yang sebentar lagi akan menjadi kenangan. Tapi ada sesuatu yang
aneh. Aku tidak mendapati wajah Runa dan Deni. Kemana mereka. Sayang sekali
mereka tidak datang. Padahal ini adalah kesempatan terakhir untuk menikmati
senyum dan tawa kita. Senyum dan tawa persahabatan dan juga cinta yang sudah
lama aku impikan.
“Teman-teman, nanti di lembar
kertas ini kita tuliskan pesan dan kesan kita kepada nama-nama yang sudah
tertulis di kertas itu!” kata Bielda berdiri di belakang Yoga sambil membagikan
kertas dan pena. Pipit juga ikut membantu membagi kertas putih itu.
“Tapi mohon maaf, penanya cuma ada
beberapa, jadi tidak apa-apa ya nanti gantian,” tambah Bielda sambil
menyuggingkan senyum.
Setelah masing-masing diantara
kita menerimakertas sesuai dengan nama masing-masing, lalu kertas digeser ke
kanan. Mulailah kita sibuk dengan pikiran kita masing-masing. Makanan dan
minuman yang sudah tersedia di meja terlupakan. Semua fokus pada pikiran
masing-masing.
“Diberi nama apa nggak neh?” kata
Rohma.
“Nggak usahlah biar surprise,” seseorang
menimpali.
“Diberi nama aja!” Afif menyahut
dari kursi nomor tiga.
Entah siapa yang lebih dulu
memutuskan, kita telah sepakat untuk memberikan nama pada pesan dan kesan yang
kita tulis di kertas teman kita.
“Wah soalnya sulit neh, sampek
lama nulisnya,” ucap Afif yang disusul tawa oleh yang lain.
Petang semakin beranjak. Dingin
semakin menusuk pori-pori, hingga ke tulang. Miss Titus dan Mr. Erwan minta
izin pulang lebih dulu. Setelah dari kasir, Miss Titus berbisik kecil di
telinga Usep. Usep hanya menganga dan kemudian gugup mengangguk.
“Mr. Fatih belum comment punyaku, comment dulu Mr. buat kenang-kenangan,” kata Irvan. Ia menyodorkan
kertas yang dipegangnya kepadaku.
Aku mengambil kertas dari tangan
Irvan. Setelah itu, mataku tertarik pada sebuah pemandangan menggelitik di
depanku. Mansur sedang duduk bersebelahan dengan Rohma. Samar-samar aku
mendengar percakapan mereka, tapi tidak terlalu jelas. Di sebelah Mansur, duduk
juga Desta yang berbincang dengan Fira. Ah, mungkinkah ini menjadi ending yang sempurna bagi mereka.
Aku hanya tersenyum sendiri
mengingat tingkah teman-teman selama tiga bulan yang akhirnya berujung pada
malam ini. Malam terakhir kita di Bambu Town. Diantara senyum teman-teman yang
masih malu-malu, ada kegelisahan yang tiba-tiba meletup-letup. Letupan yang
semakin sempurna saat Mansur memberikan seuntai dedaunan hijau pada Rohma, dan
Desta semakin tersenyum lebar menatap wajah manis Fira.
Oh my God! Diantara senyum mereka
ada mata yang berkaca-kaca. Ada keristal-keristal bening yang segera ingin
tumpah dari sudut mata. Ini adalah kenyataan yang akan segera menjadi kenangan.
Terlalu singkat untuk sebuah pertemuan yang sangat indah. Ini terlalu manis
untuk kami akhiri. Tapi, matahari esok pagi telah menunggu kami di dermaga yang
baru.
Selain kata “Selamat Tinggal”,
kata apa yang tepat untuk aku katakan padamu, pada kalian. Sebab, apapun bentuk
pertemuan ini, kita tetap harus berpisah. Mengejar silau matahari yang sudah
menunggu kita di hari esok. Walaupun sebenarnya, ada banyak hal yang masih
belum sempat aku katakan padamu. Tentang sebuah gubuk rasa yang pelan-pelan berdiri
kokoh di sisi jiwa.
Aku tak tahu harus memulai dari
mana, Dee. Mata tiba-tiba sembabatas sebuah alasan yang tidak dimengerti. Hanya
menghitung langkah dan mata kita tak kan lagi bisa bertatap. Tangan tak kan
lagi bisa berpegang. Ini sepenggal rasa buat engkau. Orang-orang baru yang
tiba-tiba menjadi keluargabaru; teman, sahabat, partner, yang terkadang entah
alasan apasaling curi-curi pandang. Menahan senyum dan tawa untuk sebuah
gojlokanyang masih samar-samar untuk menyebutnyacinta.
Aku masih belum percayaperahu kita
sudah mencium bibir dermaga. Seperti gulungan ombak yang saling berkejaran yang
pada akhirnya mengecup bibir pantai. Lalu air mata bercucuran. Tumpah ruah
berumah-rumah. Padahal masih hangat di pelupuk mata tentang kebersamaan tadi
siang. Saat kita berdiridan kadang-kadang berjongkok melewati lorongguwayang di
bawahnya mengalir air kebersamaan. Mencipratkanya ke muka dan tubuhku, engkau: kita.
Sekali lagi, pelan-pelan aku
menyisir wajah kalian satu persatu. Menangkapnya menjadi memori indah sepanjang
sejarah. Sepanjang nafas ini masih bertahan di tenggorokan. Sepanjang tatapan tajammu
masih tetap untukku.
Diantara wajah-wajah itu, aku
mendapati senyum yang nyaris sempurna dari seorang gadis berparas elok.
Kerudungnya nyaris serasi dengan bibirnya yang batu rubi. Senyumnya masih
malu-malu menerima sebuah untaian bunga, maksudnya. Tapinyatanya sebuah
dedaunan hijau yang baru dipetikdari rantingnya. Dari seorang pria
yangmengangkatnya jadi ratu di hatinya. Ah aku curiga;itu pasti tentang
ungkapan rasa yang barumenemukan jalannya, meski mungkin tak sempurna.
Aku tenggelam dalam pusaran
artimatika rasa malam ini. Melihat wajah yang bahagia, aku memilih untuk
tenggelam dalam pusaran imajenasiku sendiri. Merangkum semua asa yang pernah
kurajut bersama keping-keping rasa yang gagal utuh di akhir cerita.
Malam sudah semakain larut. Jarum
jam di pergelangan tanganku sudah dalam perjalanan menuju angka sepuluh. Sebuah
angka yang memaksa Bielda harus segera pulang dan mengakhiri perjamuan malam
ini. Aku tak tahan melihat wajahnya yang dirundung kekhawatiran. Tak ada lagi
senyum dan tawa, sebab yang ada adalah keinginan untuk segera pulang memenuhi
janji pada ayah dan mamanya untuk tak pulang larut malam.
“Ayo kita pulang, kasihan Bielda
sudah nunggu dari tadi. Yang masih mau disini tidak apa-apa tuntaskan dulu,”
ajakku pada teman-teman.
Akhirnya, malam ini kita
benar-benar harus berpisah. Menanggalkan isak tangis pada malam yang menggigil.
Oh iya, aku lupa. Malam ini aku
ingin mengatakan selamat tinggal untuk kalian. Untuk semua kenangan manis yang
kita cipta selama tiga bulan. Tentang semua kesalahan yang tidak berkenan di
hati kalian, sudilah memberi maaf padaku. Pada semua teman kita yang memiliki
khilaf, baik disengaja ataupun tidak.
Kepada semua guru di kelas D, aku
dan teman-teman ingin memelukmu lebih lama. Tapi apalah daya tangan tak sampai.
Kami harus memeluk sesuatu yang lain, yang masih terbentang luas di depan kami.
Biarlah senyum dan duka diantara kita menjadi kenangan terindah yang tak kan
pernah ada duanya. Dari hati yang paling relung, kami memohon maafmu jika
selama tiga bulan kami menabur duri di hatimu. Spesial untuk Miss Titus dan
teman-temanku, terima kasih atas perayaan ulang tahun paling istimewa yang
kalian berikan padaku, Usep, Irvan dan Affany. Kami tidak sempat membalasnya
dengan mentraktir kalian di sebuah kafe sederhana sekali pun. Dan untuk kita
semua, mari kita bersulang atas nama cinta dan kebersamaan yang sudah tercipta
diantara kita.
Dee, ini sepenggal cinta untuk
engkau. Untuk semua tawa, senyum, kedongkolan, kemarahan, matamu yang elang,
bibirmu yang bermadu, dan semua tentang kita akan tersimpan rapi di gelas
otakku. Tak usah ada tangis. Tak usah ada air mata. Cukup tersenyum dan
nikmati, itu saja!.
Pare, November 2014
Penulis: Latif Fianto El Fath