Belakangan ini, perkembangan mutakhir teknologi komunikasi, transformasi, dan informasi semakin canggih dan maju. Dunia luar menjadi hal yang supermudah untuk dijangkau. Suatu contoh, saat ini nyaris tidak ada manusia yang bisa dengan sangat mudah dan jelasnya berbicara lewat telepon genggam yang pada seribu tahun sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Berbicara lewat tulisan (chatting, twitter, facebook dan semacamnya) yang saat ini lebih dikenal dengan Social Nertworking sudah menjadi konsumsi empuk dalam hidup. Bahkan setiap kejadian dan dinamika kehidupan yang ada di setiap penjuru dunia bisa diakses dari tempat yang jauh dan berbeda dalam waktu yang bersamaan tanpa ada perbedaan waktu dan wilayah.
Premis di atas memberikan indikasi bahwa saat ini, dunia sudah tidak memiliki lagi batas-batas wilayah, ruang dan waktu. Cepatnya perkembangan informasi benar-benar menjadi arus westernisasi yang menjelma sebagai penjajah baru di tengah kehidupan masyarakat. Fenomena yang muncul kemudian adalah terjadinya pertemuan, tabrakan dan gesekan nilai-nilai budaya. Bahkan realita membuktikan telah terjadi kasus caplok mencaplok budaya bangsa lain. Seperti salah satu budaya lokal Indonesia yang sempat diakui oleh Malaysia beberapa waktu yang lalu. Dalam majalah Simpul Demokrasi edisi Oktober/2009 dikatakan bahwa rendahnya apresiasi bangsa Indonesia terhadap kebudayaan tradisional telah memberikan celah kepada Malaysia khususnya untuk mematenkan hasil karya cipta Indonesia menjadi milik mereka.
Fenomena tidak sedap ini mencuat menyusul cepatnya arus informasi yang tanpa filterisasi serta - meminjam bahasanya Dr. A Qodry Azizy – tanpa ada sensor dari tangan siapapun, menjadikan informasi tersebut dapat dikonsumsi langsung oleh siapapun dan di manapun tanpa mengenal sekat dan batas usia serta jenis kelamin. Apalagi kondisi ini ditopang oleh kurangnya kecintaan dan rasa kepemilikan masyarakat khususnya generasi muda terhadap hasil karya cipta leluhurnya. Karenanya, berbagai dampak cepatnya arus informasi, baik yang konstruktif maupun destruktif telah mendorong sebagian besar masyarakat terjerembab pada wilayah Partisipative Consumptive. Yaitu, suatu wilayah yang dimiliki oleh masyarakat untuk berpartisipasi penuh dalam berperilaku konsumtif.
Ketika masyarakat terutama para generasi muda sudah terjangkit perilaku konsumtif maka yang terjadi adalah ketergantungan, imitasi dan keengganan untuk berusaha, belajar, dan berproses. Masyarakat akan menjadi konsumen belaka. Pelajar (siswa, mahasiswa dan semacamnya) lebih suka hasil-hasil ‘instantif’: jawaban instan, artikel instan, makalah instan dan boleh jadi skripsi instan. Kalau boleh dikatakan, saat ini upaya-upaya panjang berbau kerja keras yang berdarah-darah sudah terpinggirkan dari jiwa masyarakat khususnya generasi muda.
Oleh sebab itu, merupakan suatu kebanggaan tersendiri ketika momen-momen penting semacam perayaan “Hari Jadi” atau Dies Natalis diisi dengan hal-hal kreatif dan merangsang kecintaan pada nilai-nilai budaya lokal. Seperti perayaan Dies Natalis Unitri ke 10 yang dikemas dalam bentuk penampilan tari Gambyong dan pementasan wayang orang yang diperankan oleh beberapa mahasiswa. Acara ini merupakan suatu apresiasi terhadap kemajemukan budaya Indonesia serta suatu upaya untuk menanamkan kecintaan generasi muda pada kearifan budaya lokal yang ada di Indonesia. Hal semacam ini juga mengandung suatu pengertian bagaimana suatu budaya dibangun melalui proses yang relatif panjang sehingga lambat laun budaya itu diterima serta mampu dilestarikan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Lebih dari itu semua, Unitri sebagai universitas yang dikenal dengan kampus ungu kerakyatan, merupakan miniatur suatu bentuk arsitektur bangunan bangsa Indonesia. Mahasiswanya berdatangan hampir dari setiap penjuru daerah yang ada di hamparan bumi Indonesia merupakan representasi kecil keberagaman dan integritas bangsa Indonesia. Seperti Jawa, Madura, Papua, Nusa Tenggara, Kalimantan, Flores dan sebagainya yang sudah barang tentu berlatarbelakang sosial, ekonomi, budaya, dan bahasa yang berbeda satu sama lain. Hal demikian yang seyogianya menjadi salah satu esensi substantif dari perayaan Dies Natalis yang menurut penulis sudah menjadi ritual sakral saban tahunan.
Karenanya, di tengah pergaulan yang majemuk dan heterogen tersebut, seluruh elemen masyarakat Unitri, dari tataran yang paling tinggi sampai pada tataran yang paling rendah, baik secara hierarki maupun horizontal dituntut untuk Learn how to live and Learn how to live together. Yaitu, belajar bagaimana hidup dan belajar pula bagaimana hidup berdampingan dengan orang lain yang berbeda latar belakang, kondisi sosial, budaya, keyakinan dan kepercayaan, warna kulit serta bahasa. Dengan suatu pengertian bahwa sebagai masyarakat ilmiah yang berada di bawah naungan lembaga pendidikan (Unitri) yang kurang lebih sudah sekitar 10 tahun dirayakan eksistensinya, mesti siap hidup berdampingan secara sinergis serta saling mendukung satu sama lain.
Menulislah, tinta pena ini gratis!
Dengan mencipta sebenarnya kita kan abadi
jadi mari kendarai matahari
gapai bulan dalam genggam
dan kita jadi Tuhan
pelan-pelan
*Penulis adalah mahasiswa biasa yang terbiasa untuk bisa yang saat ini tengah berproses di Uni3.