The Catcher In The Rye, J.D. Salinger -->

Advertisement

The Catcher In The Rye, J.D. Salinger

Latif Fianto
Monday, September 27, 2021


Saya sudah lama melihat penampakan novel ini. Seandainya novel ini tidak saya temukan di lini masa media sosial teman-teman sesama penulis, saya kira saya tidak akan pernah melihat novel ini dan sumpah mati penasaran. Saya hanya merasa bahwa untuk menjadi seorang penulis yang baik dan besar di bidang sastra, terutama novel, saya harus membaca novel ini. Sebuah novel yang di sampul depannya tertulis Seratus buku terbaik sepanjang masa – Time.

Di lembar-lembar awal novel ini saya masih bertanya-tanya, apa sih yang membuat novel ini bagus, dan saya kira, agak cukup terkenal juga. Pada halaman-halaman awal saya masih bingung mencari sesuatu yang membuat novel ini istimewa. Jujur saja, sejak membaca paragraf pembukanya, saya belum menemukan daya magis novel ini. Saya tidak menemukan pengalaman magis dan istimewa yang sama ketika saya membaca Ambanya Laksmi Pamuntjak, yang dibuka dengan kalimat, Di Pulau Buru, laut seperti seorang ibu: dalam dan menunggu. Boleh dibilang, penilaian sementara saya, novel ini tidak dibuka dengan satu kalimat atau paragraf yang cukup menendang—sebuah saran yang selalu diucapkan para tutor penulisan cerpen atau novel dalam kelas-kelas pelatihan.

Sebagai seseorang yan mewarisi tabiat narsisisme, saya mencoba mengunggah foto novel ini—sebagai bukti autentik bahwa saya juga membaca novel internasional yang bagus—di story WA. Ada seorang teman yang mengomentari dan bertanya tentang apa pendapat saya soal novel ini. Saya jawab saja, saya belum menyelesaikannya, dan masih mencari rahasia terdalam dari  novel ini. Dia memaksa, bagaimana pendapat saya sampai sejauh ini, sejauh halaman-halaman yang sudah saya lewati. Saya sampaikan, novel ini berisi sebuah kejadian atau peristiwa yang diceritakan atau ditulis secara intens. Cerita novel ini dimulai ketika seorang siswa bernama Holden Caulfield dikeluarkan dari sekolahnya, Pencey Prep. Dan semua jalinan cerita adalah setiap kejadian yang menimpa atau dialaminya sesaat setelah ia hendak meninggalkan sekolah itu dan si pak tua Spencer.

Jalinan cerita novel ini adalah sebuah pengalaman dari sekian pengalaman-pengalaman lain yang berkelindan dalam kehidupan Holden. Pengalaman itu, dengan mengambil narator sudut pandang orang pertama tunggal, ia ceritakan secara intens dan linear.

Mungkin ini agak sulit dipahamai. Maksud saya, pendapat yang saya utarakan kepada teman saya soal pengalaman saya membaca novel ini.

Maksud saya adalah, jika diibaratkan seseorang yang ingin melukis tentang daun-daun, tidak semua daun yang ada di dunia ini dimasukkan ke dalam sebuah bingkai lukisan. J.D. Salinger melakukan trik itu. Ia mengambil sepotong kejadian, lalu diceritakan dalam pertalian cerita yang bagi saya, selama membaca novel ini, sulit menemukan benang merah yang menjadi pengikat cerita. Atau dalam bahasa lain, sulit menemukan gumpalan-gumpalan poin yang menjadi pijakan novel ini. Ini terjadi mungkin, karena saya pribadi, atau secara umum orang-orang di lingkungan saya, menyukai buku-buku yang langsung menyajikan inti cerita, sehingga seorang pembaca dapat mengikuti jalinan cerita dengan baik dari awal sampai akhir.

Atau semacam membaca sebuah buku teori, saya harus dihadapkan pada inti pokok atau asumsi dasar teori itu, yang tentu saja sajian konkret demikian hanya didapati dari buku sekunder, bukan buku primer, yang semacam sudah sebentuk hasil rangkuman dari buku primer yang disertai ulasan. Padahal, kalau membaca buku primer, dari tangan pertama yang menulis teori Kultivasi, misalnya, boleh jadi teori tersebut berisi narasi yang panjang kali lebar, detail-detail yang secara kasat mata sama sekali tidak saling bertalian sehingga sulit dipahami dengan cara kerja otak orang biasa.

Dengan kata lain, saya mungkin termasuk tipe pembaca yang harus menemukan apa yang menjadi sebab dan apa yang menjadi akibat dalam sebuah cerita.

Memang, ide atau cerita besar novel ini adalah Holden Caulfield yang harus meninggalkan Pencey karena semua nilai mata pelajarannya anjlok, kecuali bahasa Inggris. Ia terlalu sering bolos. Pada akhirnya ia harus keluar dari sekolah. Boleh dibilang, meminjam kata-kata dari beberapa orang yang sempat membaca novel Karang Cemara, cerita dibiarkan mengalir sehingga tidak ada titik di mana cerita ini harus diperdalam atau mendapat polesan lebih tajam. Setelah meninggalkan Pencey untuk pulang ke rumahnya, Holden Caulfield mampir di beberapa tempat, ketemu dengan beberapa orang, gadis yang disukai, anggap saja begitu, semacam Sally atau keinginannya untuk bertemu Jane, teman masa kecil yang sempat dikencani teman satu asramanya, berdansa dengan tiga orang penari berusia lanjut yang ditemuinya di bar. Ia tiba di rumah dengan cara menyelinap di tengah malam untuk menghindari dari ketahuan oleh kedua orang tuanya, bertemu adiknya, si Phoebe, di kamar D.B., kakaknya yang seorang penulis tapi kemudian pindah ke Hollywood. 

Tetapi, apa yang tersaji dalam novel boleh jadi gambaran nyata dari dunia kita yang penuh caci maki dan kata-kata kotor. Setiap pembicaraan tak sah rasanya bila tidak disertai olokan dan cacian: asu, goblok, bajingan, dan lain-lain. Semua subjek atau tokoh yang digambarkan Salinger penuh dengan kebobrokan, ketaksempurnaan yang nyata dari keberadaan manusia. Satu-satunya tokoh yang mendekati sempurna mungkin hanya si Sally, yang cantik minta ampun di mata Holden. Meskipun tetap saja, di samping kecantikan itu, masih tetap ada kurangnya di mata Holden.

Ini kisah orang-orang yang penuh kekurangan, bagi secara fisik maupun mental. Si Holden sendiri mengidap penyakit mental, saya kira begitu, ketika ia membayangkan di ususnya bersarang peluru dan ia memegangi perutnya untuk mencegah darah mengalir. Sulit dijelaskan, tapi saya menganggap ini kisah yang tak bisa dilepaskan begitu saja dari studi fungsi dan perilaku psikologis manusia.

Buat saya, satu-satunya hal yang paling menyentuh dari Holden adalah hubungannya dengan adiknya, Phoebe. Ketika ia mau pergi meninggalkan rumah untuk sekian waktu yang tak bisa ditentukan si Phoebe membawa koper berisi baju-baju untuk ikut dengannya. Di sini saya melihat sisi hubungan persaudaraan yang mengundang haru. Sisi kemanusian, kepedulian, perhatian dari seorang adik kepada kakaknya. Begitu pula sebaliknya, dari seorang kakak kepada adiknya, yang setelah Phoebe ngambek, Holden mengajaknya pergi jalan-jalan ke kebun binatang agar si Phoebe tidak bertingkah aneh lagi.

Dalam hidup, mungkin saya akan sangat senang memiliki kepedulian yang demikian dalam hubungan persaudaraan.