Saya sudah lama melihat
penampakan novel ini. Seandainya novel ini tidak saya temukan di lini masa
media sosial teman-teman sesama penulis, saya kira saya tidak akan pernah
melihat novel ini dan sumpah mati penasaran. Saya hanya merasa bahwa untuk
menjadi seorang penulis yang baik dan besar di bidang sastra, terutama novel,
saya harus membaca novel ini. Sebuah novel yang di sampul depannya tertulis Seratus buku terbaik sepanjang masa – Time.
Di lembar-lembar awal
novel ini saya masih bertanya-tanya, apa sih yang membuat novel ini bagus, dan
saya kira, agak cukup terkenal juga. Pada halaman-halaman awal saya masih
bingung mencari sesuatu yang membuat novel ini istimewa. Jujur saja, sejak membaca
paragraf pembukanya, saya belum menemukan daya magis novel ini. Saya tidak
menemukan pengalaman magis dan istimewa yang sama ketika saya membaca Ambanya
Laksmi Pamuntjak, yang dibuka dengan kalimat, Di Pulau Buru, laut seperti seorang ibu: dalam dan menunggu. Boleh
dibilang, penilaian sementara saya, novel ini tidak dibuka dengan satu kalimat
atau paragraf yang cukup menendang—sebuah saran yang selalu diucapkan para
tutor penulisan cerpen atau novel dalam kelas-kelas pelatihan.
Sebagai seseorang yan
mewarisi tabiat narsisisme, saya mencoba mengunggah foto novel ini—sebagai
bukti autentik bahwa saya juga membaca novel internasional yang bagus—di story
WA. Ada seorang teman yang mengomentari dan bertanya tentang apa pendapat saya soal
novel ini. Saya jawab saja, saya belum menyelesaikannya, dan masih mencari rahasia
terdalam dari novel ini. Dia memaksa,
bagaimana pendapat saya sampai sejauh ini, sejauh halaman-halaman yang sudah
saya lewati. Saya sampaikan, novel ini berisi sebuah kejadian atau peristiwa yang
diceritakan atau ditulis secara intens. Cerita novel ini dimulai ketika seorang
siswa bernama Holden Caulfield dikeluarkan dari sekolahnya, Pencey Prep. Dan
semua jalinan cerita adalah setiap kejadian yang menimpa atau dialaminya sesaat
setelah ia hendak meninggalkan sekolah itu dan si pak tua Spencer.
Jalinan cerita novel ini
adalah sebuah pengalaman dari sekian pengalaman-pengalaman lain yang
berkelindan dalam kehidupan Holden. Pengalaman itu, dengan mengambil narator
sudut pandang orang pertama tunggal, ia ceritakan secara intens dan linear.
Mungkin ini agak sulit
dipahamai. Maksud saya, pendapat yang saya utarakan kepada teman saya soal
pengalaman saya membaca novel ini.
Maksud saya adalah, jika
diibaratkan seseorang yang ingin melukis tentang daun-daun, tidak semua daun
yang ada di dunia ini dimasukkan ke dalam sebuah bingkai lukisan. J.D. Salinger
melakukan trik itu. Ia mengambil sepotong kejadian, lalu diceritakan dalam
pertalian cerita yang bagi saya, selama membaca novel ini, sulit menemukan
benang merah yang menjadi pengikat cerita. Atau dalam bahasa lain, sulit
menemukan gumpalan-gumpalan poin yang menjadi pijakan novel ini. Ini terjadi
mungkin, karena saya pribadi, atau secara umum orang-orang di lingkungan saya,
menyukai buku-buku yang langsung menyajikan inti cerita, sehingga seorang
pembaca dapat mengikuti jalinan cerita dengan baik dari awal sampai akhir.
Atau semacam membaca
sebuah buku teori, saya harus dihadapkan pada inti pokok atau asumsi dasar
teori itu, yang tentu saja sajian konkret demikian hanya didapati dari buku
sekunder, bukan buku primer, yang semacam sudah sebentuk hasil rangkuman dari
buku primer yang disertai ulasan. Padahal, kalau membaca buku primer, dari
tangan pertama yang menulis teori Kultivasi, misalnya, boleh jadi teori
tersebut berisi narasi yang panjang kali lebar, detail-detail yang secara kasat
mata sama sekali tidak saling bertalian sehingga sulit dipahami dengan cara
kerja otak orang biasa.
Dengan kata lain, saya
mungkin termasuk tipe pembaca yang harus menemukan apa yang menjadi sebab dan
apa yang menjadi akibat dalam sebuah cerita.
Memang, ide atau cerita
besar novel ini adalah Holden Caulfield yang harus meninggalkan Pencey karena
semua nilai mata pelajarannya anjlok, kecuali bahasa Inggris. Ia terlalu sering
bolos. Pada akhirnya ia harus keluar dari sekolah. Boleh dibilang, meminjam
kata-kata dari beberapa orang yang sempat membaca novel Karang Cemara, cerita
dibiarkan mengalir sehingga tidak ada titik di mana cerita ini harus diperdalam
atau mendapat polesan lebih tajam. Setelah meninggalkan Pencey untuk pulang ke
rumahnya, Holden Caulfield mampir di beberapa tempat, ketemu dengan beberapa
orang, gadis yang disukai, anggap saja begitu, semacam Sally atau keinginannya
untuk bertemu Jane, teman masa kecil yang sempat dikencani teman satu
asramanya, berdansa dengan tiga orang penari berusia lanjut yang ditemuinya di
bar. Ia tiba di rumah dengan cara menyelinap di tengah malam untuk menghindari
dari ketahuan oleh kedua orang tuanya, bertemu adiknya, si Phoebe, di kamar
D.B., kakaknya yang seorang penulis tapi kemudian pindah ke Hollywood.
Tetapi, apa yang
tersaji dalam novel boleh jadi gambaran nyata dari dunia kita yang penuh caci
maki dan kata-kata kotor. Setiap pembicaraan tak sah rasanya bila tidak
disertai olokan dan cacian: asu, goblok, bajingan, dan lain-lain. Semua subjek
atau tokoh yang digambarkan Salinger penuh dengan kebobrokan, ketaksempurnaan
yang nyata dari keberadaan manusia. Satu-satunya tokoh yang mendekati sempurna
mungkin hanya si Sally, yang cantik minta ampun di mata Holden. Meskipun tetap
saja, di samping kecantikan itu, masih tetap ada kurangnya di mata Holden.
Ini kisah orang-orang
yang penuh kekurangan, bagi secara fisik maupun mental. Si Holden sendiri
mengidap penyakit mental, saya kira begitu, ketika ia membayangkan di ususnya
bersarang peluru dan ia memegangi perutnya untuk mencegah darah mengalir. Sulit
dijelaskan, tapi saya menganggap ini kisah yang tak bisa dilepaskan begitu saja
dari studi fungsi dan perilaku psikologis manusia.
Buat saya, satu-satunya
hal yang paling menyentuh dari Holden adalah hubungannya dengan adiknya, Phoebe.
Ketika ia mau pergi meninggalkan rumah untuk sekian waktu yang tak bisa
ditentukan si Phoebe membawa koper berisi baju-baju untuk ikut dengannya. Di
sini saya melihat sisi hubungan persaudaraan yang mengundang haru. Sisi
kemanusian, kepedulian, perhatian dari seorang adik kepada kakaknya. Begitu
pula sebaliknya, dari seorang kakak kepada adiknya, yang setelah Phoebe
ngambek, Holden mengajaknya pergi jalan-jalan ke kebun binatang agar si Phoebe
tidak bertingkah aneh lagi.
Dalam hidup, mungkin saya akan sangat senang memiliki kepedulian yang demikian dalam hubungan persaudaraan.