Menafsir “Saya Bersaksi Anda Orang Baik” Atas Kepulangan Mas Romdlon -->

Advertisement

Menafsir “Saya Bersaksi Anda Orang Baik” Atas Kepulangan Mas Romdlon

Latif Fianto
Saturday, October 10, 2020


Almarhum, Muhammad Romdlon.

Jumat pagi saya mendengar Mas Romdlon sudah berpulang. Seorang sahabat menyampaikan informasi itu di grup WA. Lalu, ucapan ikut berduka cita, bela sungkawa dan macam-macam muncul dari setiap orang yang merasa pernah menjadi bagian dari hidupnya, bahkan meski hanya pernah berada dalam satu forum tanpa saying hello, berjabat tangan atau sekadar menikmati suaranya saat menyanyikan sebuah lagu.

Saya juga mengenal Mas Romdlon, dan sangat pasti beliau belum pernah mendengar nama saya. Itu kepulangan yang mendadak, dan tidak semestinya. Tapi, kematian adalah rahasia. Ia datang di luar hitung-hitungan matematis manusia yang fana.

Pada kematiannya yang mengundang isak tangis, beberapa orang bahkan harus berkata di story WA mereka dengan menulis semacam: aku bersaksi bahwa beliau orang baik, atau yang sejenis dengan itu.

Sebelumnya, atas kematian kerabatnya, seorang sahabat pernah menulis di dinding Facebook—tentu sambil mengunggah foto si kerabat itu—bahwa ia bersaksi atas kebaikan si kerabat dan menambahkannya dengan kata-kata menyentuh. Beberapa tahun belakangan saya memang mendapati banyak orang menulis kesaksian-kesaksian semacam itu untuk sahabat, kerabat atau siapa pun yang meninggal, seolah-olah itu memang perlu dan penting.

Awalnya, saya kira hal itu wajar. Tetapi, kemudian saya menyadari itu bukan suatu kewajaran yang biasa.

Kembalinya Mas Romdlon ke sisi Allah mengabarkan duka yang mendalam. Kita kehilangan sosok teladan yang energik, penuh pengayoman, tidak gengsian, mau melebur dengan siapa saja, dan tentu saja beliau membimbing adik-adik ideologisnya dengan ramah, lemah lembut, seolah cinta adalah unsur paling penting dalam mendidik generasi muda yang lahir dari romantisisme.

Semua orang yang pernah berinteraksi dengan Mas Romdlon tahu dan merasakan hampir semua kebaikannya. Lalu, masihkah perlu kita menulis kata-kata persaksian?

Boleh jadi perlu. Tapi saya belum menemukan alasan yang masuk akal. Sepintas mungkin terdengar bagus, tapi kok lama-lama itu semacam meremehkan identitas Mas Romdlon dan kebaikan-kebaikan yang sudah dilakukannya semasa hidup.

Dalam beberapa kasus, persaksian perlu untuk sesuatu yang meragukan, layak atau tidak untuk dipercaya. Jika Anda ingin mendaftar sebagai ketua wilayah sebuah organisasi dan syaratnya sudah harus mengikuti pelatihan kaderisasi tingkat 3, maka kalau tidak ada plakat yang bisa membuktikannya, Anda perlu membawa seorang atau dua orang saksi hidup. Tujuannya, untuk memberikan persaksian.

Lalu, apa alasan yang membuat kita harus bersaksi atas kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan seseorang semasam hidup? Apakah persaksian kita di dinding-dinding WA, Facebook, Twitter dan segala macam media sosial mampu mencegah malaikat Mungkar dan Nakir datang ke kuburan orang yang bersangkutan? Apakah itu mampu mengurangi jumlah dosa orang tersebut, dan dimuluskan jalannya ke surga, misalnya?

Kita berdoa agar orang-orang yang sudah mendahului kita, terutama seorang teladan seperti Mas Romdlon, diampuni dosa-dosanya dan diterima amal kebaikannya. Itu pasti. Tapi, perilaku memberikan persaksian dengan berkata “Saya bersaksi Anda orang baik”, sebagaimana yang menjamur belakangan ini, adalah teks, sesuatu yang mengandung jejaring makna atau struktur simbol-simbol, kata Budi Hardiman.

Misalnya, makna itu adalah orang yang bersangkutan mungkin bukan orang baik atau dicap buruk di tengah masyarakat sehingga kita perlu memberikan persaksian—tentu saja Mas Romdlon bukan sosok yang seperti itu; di dunia ini ada sebagian orang yang tidak mengenal siapa orang yang baru saja dipanggil oleh Allah berikut kebaikan-kebaikan yang sudah dilakukannya, sehingga teman atau kerabatnya merasa perlu untuk memberikan persaksian agar hal itu bisa dibaca lebih banyak orang dan agar semakin banyak orang yang mendoakannya.

Kata-kata persaksian yang kita berikan untuk seseorang,di satu sisi mengandung sesuatu yang positif, tetapi di sisi lain juga menyimpan upaya dekostruksi identitas dan makna.  Lainnya, pemberian kesaksian “Saya bersaksi Anda orang baik” boleh jadi sebagai pengumuman diri—kalau bukan sebentuk upaya pamer—bahwa orang yang mengatakannya memiliki hubungan yang sangat dekat dengan yang bersangkutan, sehingga kata-kata persaksian adalah sebentuk upaya eksistensial baginya.

Lebih dari itu, mari kita doakan agar kepulangan Mas Romdlon kepada Dia yang menciptakan diterima dan beliau diberikan tempat terbaik di sisi-Nya. Kita telah kehilangan. Benar-benar telah kehilangan.***