Almarhum, Muhammad Romdlon.
Jumat pagi saya mendengar Mas Romdlon sudah berpulang. Seorang
sahabat menyampaikan informasi itu di grup WA. Lalu, ucapan ikut berduka cita,
bela sungkawa dan macam-macam muncul dari setiap orang yang merasa pernah
menjadi bagian dari hidupnya, bahkan meski hanya pernah berada dalam satu forum
tanpa saying hello, berjabat tangan
atau sekadar menikmati suaranya saat menyanyikan sebuah lagu.
Saya juga mengenal Mas Romdlon, dan sangat pasti beliau belum
pernah mendengar nama saya. Itu kepulangan yang mendadak, dan tidak semestinya.
Tapi, kematian adalah rahasia. Ia datang di luar hitung-hitungan matematis
manusia yang fana.
Pada kematiannya yang mengundang isak tangis, beberapa orang
bahkan harus berkata di story WA mereka dengan menulis semacam: aku bersaksi
bahwa beliau orang baik, atau yang sejenis dengan itu.
Sebelumnya, atas kematian kerabatnya, seorang sahabat pernah
menulis di dinding Facebook—tentu sambil mengunggah foto si kerabat itu—bahwa ia
bersaksi atas kebaikan si kerabat dan menambahkannya dengan kata-kata
menyentuh. Beberapa tahun belakangan saya memang mendapati banyak orang menulis
kesaksian-kesaksian semacam itu untuk sahabat, kerabat atau siapa pun yang
meninggal, seolah-olah itu memang perlu dan penting.
Awalnya, saya kira hal itu wajar. Tetapi, kemudian saya
menyadari itu bukan suatu kewajaran yang biasa.
Kembalinya Mas Romdlon ke sisi Allah mengabarkan duka yang mendalam.
Kita kehilangan sosok teladan yang energik, penuh pengayoman, tidak gengsian,
mau melebur dengan siapa saja, dan tentu saja beliau membimbing adik-adik
ideologisnya dengan ramah, lemah lembut, seolah cinta adalah unsur paling
penting dalam mendidik generasi muda yang lahir dari romantisisme.
Semua orang yang pernah berinteraksi dengan Mas Romdlon tahu dan
merasakan hampir semua kebaikannya. Lalu, masihkah perlu kita menulis kata-kata
persaksian?
Boleh jadi perlu. Tapi saya belum menemukan alasan yang masuk
akal. Sepintas mungkin terdengar bagus, tapi kok lama-lama itu semacam
meremehkan identitas Mas Romdlon dan kebaikan-kebaikan yang sudah dilakukannya
semasa hidup.
Dalam beberapa kasus, persaksian perlu untuk sesuatu yang
meragukan, layak atau tidak untuk dipercaya. Jika Anda ingin mendaftar sebagai
ketua wilayah sebuah organisasi dan syaratnya sudah harus mengikuti pelatihan
kaderisasi tingkat 3, maka kalau tidak ada plakat yang bisa membuktikannya,
Anda perlu membawa seorang atau dua orang saksi hidup. Tujuannya, untuk
memberikan persaksian.
Lalu, apa alasan yang membuat kita harus bersaksi atas
kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan seseorang semasam hidup? Apakah persaksian
kita di dinding-dinding WA, Facebook, Twitter dan segala macam media sosial
mampu mencegah malaikat Mungkar dan Nakir datang ke kuburan orang yang
bersangkutan? Apakah itu mampu mengurangi jumlah dosa orang tersebut, dan
dimuluskan jalannya ke surga, misalnya?
Kita berdoa agar orang-orang yang sudah mendahului kita,
terutama seorang teladan seperti Mas Romdlon, diampuni dosa-dosanya dan
diterima amal kebaikannya. Itu pasti. Tapi, perilaku memberikan persaksian dengan
berkata “Saya bersaksi Anda orang baik”, sebagaimana yang menjamur belakangan
ini, adalah teks, sesuatu yang mengandung jejaring makna atau struktur
simbol-simbol, kata Budi Hardiman.
Misalnya, makna itu adalah orang yang bersangkutan mungkin
bukan orang baik atau dicap buruk di tengah masyarakat sehingga kita perlu
memberikan persaksian—tentu saja Mas Romdlon bukan sosok yang seperti itu; di
dunia ini ada sebagian orang yang tidak mengenal siapa orang yang baru saja
dipanggil oleh Allah berikut kebaikan-kebaikan yang sudah dilakukannya,
sehingga teman atau kerabatnya merasa perlu untuk memberikan persaksian agar hal
itu bisa dibaca lebih banyak orang dan agar semakin banyak orang yang
mendoakannya.
Kata-kata persaksian yang kita berikan untuk seseorang,di satu
sisi mengandung sesuatu yang positif, tetapi di sisi lain juga menyimpan upaya
dekostruksi identitas dan makna. Lainnya,
pemberian kesaksian “Saya bersaksi Anda orang baik” boleh jadi sebagai
pengumuman diri—kalau bukan sebentuk upaya pamer—bahwa orang yang mengatakannya
memiliki hubungan yang sangat dekat dengan yang bersangkutan, sehingga kata-kata
persaksian adalah sebentuk upaya eksistensial baginya.