Saat saya
menceritakan kisah ini, saya sedang menatap ke luar jendela di sebuah kamar
nomor 0516 di sebuah apartemen berlantai 10. Hanya lima menit memperhatikan
pemandangan di luar jendela, selebihnya saya memperhatikan isi kamar yang sepi.
Sesepi hati saya. Katanya, hati yang sepi tersebab keinginan yang terlalu ingin
memiliki.
Benar, saya
ingin memiliki seseorang yang jauh di tepi pantai. Jauh di tengah pulau.
Berjarak ribuan mil dari rumahku yang berdinding terang. Berbeda suku. Berbeda
bahasa. Berbeda budaya.
Ketika saya
menceritakan kisah ini, saya sedang dirundung pilu. Saya mencoba untuk tertawa.
Sebab, saya selalu ingat kata-kata lelaki itu. “Berjalanlah di sampingku! Kita
berjuang, kita tertawa, kita berpegangan tangan, kita menangis. Kita akan
melakukan itu berdua.”
Di dunia ini,
barangkali tidak hanya saya yang merasakan kondisi sesulit ini. Di dunia ini,
tidak hanya saya yang sedang merayu ibu untuk menyetujui hubungan kami. Ya
hubungan kami yang baru seumur jagung. Barangkali ada miliaran manusia yang
sama-sama berjuang seperti saya.
Saya katakan
usia hubungan kami baru seumur jagung. Tapi perasaan ini begitu kuat. Saya pernah
menangis gara-gara lelaki itu. Hasil ujian tengah semester saya juga berantakan
tersebab lelaki itu. Saya nyaris menabrak seorang pengendara sepeda motor di
tepi jalan juga lantaran lelaki itu. Saya pernah menangis di bawah hujan,
menangis yang mengalahkan derasnya deras hujan paling deras, juga tersebab
lelaki itu.
Saya katakan
padanya, “Kalau saya menangis di bawah hujan, tidak akan ada orang yang tahu
kalau saya sedang menangis. Ibu, bapak, teman dan orang-orang di jalan tidak
akan ada yang tahu kalau saya sedang sedih.”
Jadi, sekarang
kamu tahu kenapa saya suka menangis di bawah hujan. Selain karena airnya
dingin, juga karena alasan tersebut.
Kamu harus tahu
lelaki itu. Lelaki itu cuek, pendiam, rambutnya berantakan, tubuhnya tidak
sewangi lelaki yang suka berdandan. Lelaki itu, ia bukan keturunan konglomerat,
bukan keluarga anggota dewan, bukan anak tunggal, bukan pewaris tunggal harta
kekayaan orang tua, bukan lelaki sempurna dengan sebuah mobil, motor ninja,
atau lelaki yang dengan mudahnya makan di mal-mal besar seperti yang sering
kita lakukan.
Kamu harus
tahu, lelaki itu lelaki sederhana. Lelaki yang tidak pernah pergi ke gedung
bioskop. Lelaki yang tidak pernah makan di restoran-restoran kelas pejabat,
artis atau paling tidak restoran orang-orang terkenal dan kaya di masing-masing
kota.
Kamu harus
tahu, tempat paling favorit yang gemar ia kunjungi adalah toko buku, gunung,
lembah, pantai dan tempat-tempat kuno yang jarang dikunjungi orang. Aktivitas
yang paling ia gemari untuk mengisi waktu kosong adalah menulis. Menulis apa
saja yang terlintas di dalam pikirannya.
Lelaki itu
sangat sederhana. Tapi harus saya katakan padamu, saya telah mencintainya lebih
dari siapa pun. Jangan tanya kenapa, karena saya mencintainya seperti orang
lain yang juga mencintai pilihan hatinya. Bukan berusaha mencintai lelaki
pilihan orang tuanya. Harus saya tegaskan, lelaki itu teramat sangat sederhana,
tetapi saya teramat sangat mencintainya.
Saat saya
menceritakan kisah ini, teman-teman menyangka saya telah gila menerima lelaki
itu. Mereka bilang, lelaki itu tidak pantas dicintai, lantaran pernah pergi
tanpa kabar, tanpa salam, tanpa memberikan alasan kenapa ia pergi. Ketika saya
bercerita kepada ibu, ibu bilang mungkin lelaki itu bukan jodoh saya. Dengan
berlinang air mata saya katakan, tidak, lelaki itu harus jadi jodoh saya.
Satu-satunya
orang yang bahagia mendengar kabar lelaki itu telah kembali adalah teman saya
di sanggar senam. Ia begitu bahagia, seperti saya yang juga bahagia.
Saat saya
menceritakan kisah ini, di apartemen saya sudah pukul 16 lebih sedikit. Langit
sedang senja. Matahari sudah bersiap-siap untuk terbenam. Kamu tahu, hal yang
membuat saya sedih bukan matahari yang segera terbenam. Tetapi ini tentang ibu
yang belum juga membuka pintu hatinya. Bukan ibu tidak suka, tapi masih enggan
melihat hati anaknya terluka. Kamu tahu kan kata-kata nothing is impossible in the world?
Seperti kata
lelaki itu, kami akan melakukannya berdua. Berjuang dan saling memperjuangkan.
Ini hukum alam. Kesuksesan hanya pantas bagi mereka yang bekerja keras. Hukum
alam adalah hukum Tuhan. Mungkin butuh waktu lama, tapi tidak ada yang tidak
mungkin. Tidak mudah memang, butuh waktu, dan saya harus melakukannya. Berdua.
Saat ini, jarum
jam di dinding terus bergerak. Saya tidak ingin kehilangan lelaki itu. Lelaki
yang sangat penting dalam hidup saya. Saya yakin, ada banyak perempuan yang
mengalami hal sama seperti saya. Just do
it! Tak ada waktu untuk meratap dan bersedih.
Masa yang
masih manis dan terang adalah masa depan. Tidak peduli masa lalu kita teramat
pedih dan perih. Jika kamu adalah perempuan seperti saya, jangan memilih
meloncat dari gedung apartemen ini. Kamu harus membuktikan, bahwa kamu memiliki
cinta yang pantas untuk diperjuangkan.***