Dari Kamar Nomor 0516 Lantai 10 -->

Advertisement

Dari Kamar Nomor 0516 Lantai 10

Latif Fianto
Sunday, April 12, 2020

Saat saya menceritakan kisah ini, saya sedang menatap ke luar jendela di sebuah kamar nomor 0516 di sebuah apartemen berlantai 10. Hanya lima menit memperhatikan pemandangan di luar jendela, selebihnya saya memperhatikan isi kamar yang sepi. Sesepi hati saya. Katanya, hati yang sepi tersebab keinginan yang terlalu ingin memiliki.
Benar, saya ingin memiliki seseorang yang jauh di tepi pantai. Jauh di tengah pulau. Berjarak ribuan mil dari rumahku yang berdinding terang. Berbeda suku. Berbeda bahasa. Berbeda budaya.
Ketika saya menceritakan kisah ini, saya sedang dirundung pilu. Saya mencoba untuk tertawa. Sebab, saya selalu ingat kata-kata lelaki itu. “Berjalanlah di sampingku! Kita berjuang, kita tertawa, kita berpegangan tangan, kita menangis. Kita akan melakukan itu berdua.”
Di dunia ini, barangkali tidak hanya saya yang merasakan kondisi sesulit ini. Di dunia ini, tidak hanya saya yang sedang merayu ibu untuk menyetujui hubungan kami. Ya hubungan kami yang baru seumur jagung. Barangkali ada miliaran manusia yang sama-sama berjuang seperti saya.
Saya katakan usia hubungan kami baru seumur jagung. Tapi perasaan ini begitu kuat. Saya pernah menangis gara-gara lelaki itu. Hasil ujian tengah semester saya juga berantakan tersebab lelaki itu. Saya nyaris menabrak seorang pengendara sepeda motor di tepi jalan juga lantaran lelaki itu. Saya pernah menangis di bawah hujan, menangis yang mengalahkan derasnya deras hujan paling deras, juga tersebab lelaki itu.
Saya katakan padanya, “Kalau saya menangis di bawah hujan, tidak akan ada orang yang tahu kalau saya sedang menangis. Ibu, bapak, teman dan orang-orang di jalan tidak akan ada yang tahu kalau saya sedang sedih.”
Jadi, sekarang kamu tahu kenapa saya suka menangis di bawah hujan. Selain karena airnya dingin, juga karena alasan tersebut.
Kamu harus tahu lelaki itu. Lelaki itu cuek, pendiam, rambutnya berantakan, tubuhnya tidak sewangi lelaki yang suka berdandan. Lelaki itu, ia bukan keturunan konglomerat, bukan keluarga anggota dewan, bukan anak tunggal, bukan pewaris tunggal harta kekayaan orang tua, bukan lelaki sempurna dengan sebuah mobil, motor ninja, atau lelaki yang dengan mudahnya makan di mal-mal besar seperti yang sering kita lakukan.
Kamu harus tahu, lelaki itu lelaki sederhana. Lelaki yang tidak pernah pergi ke gedung bioskop. Lelaki yang tidak pernah makan di restoran-restoran kelas pejabat, artis atau paling tidak restoran orang-orang terkenal dan kaya di masing-masing kota.
Kamu harus tahu, tempat paling favorit yang gemar ia kunjungi adalah toko buku, gunung, lembah, pantai dan tempat-tempat kuno yang jarang dikunjungi orang. Aktivitas yang paling ia gemari untuk mengisi waktu kosong adalah menulis. Menulis apa saja yang terlintas di dalam pikirannya.
Lelaki itu sangat sederhana. Tapi harus saya katakan padamu, saya telah mencintainya lebih dari siapa pun. Jangan tanya kenapa, karena saya mencintainya seperti orang lain yang juga mencintai pilihan hatinya. Bukan berusaha mencintai lelaki pilihan orang tuanya. Harus saya tegaskan, lelaki itu teramat sangat sederhana, tetapi saya teramat sangat mencintainya.
Saat saya menceritakan kisah ini, teman-teman menyangka saya telah gila menerima lelaki itu. Mereka bilang, lelaki itu tidak pantas dicintai, lantaran pernah pergi tanpa kabar, tanpa salam, tanpa memberikan alasan kenapa ia pergi. Ketika saya bercerita kepada ibu, ibu bilang mungkin lelaki itu bukan jodoh saya. Dengan berlinang air mata saya katakan, tidak, lelaki itu harus jadi jodoh saya.
Satu-satunya orang yang bahagia mendengar kabar lelaki itu telah kembali adalah teman saya di sanggar senam. Ia begitu bahagia, seperti saya yang juga bahagia.
Saat saya menceritakan kisah ini, di apartemen saya sudah pukul 16 lebih sedikit. Langit sedang senja. Matahari sudah bersiap-siap untuk terbenam. Kamu tahu, hal yang membuat saya sedih bukan matahari yang segera terbenam. Tetapi ini tentang ibu yang belum juga membuka pintu hatinya. Bukan ibu tidak suka, tapi masih enggan melihat hati anaknya terluka. Kamu tahu kan kata-kata nothing is impossible in the world?
Seperti kata lelaki itu, kami akan melakukannya berdua. Berjuang dan saling memperjuangkan. Ini hukum alam. Kesuksesan hanya pantas bagi mereka yang bekerja keras. Hukum alam adalah hukum Tuhan. Mungkin butuh waktu lama, tapi tidak ada yang tidak mungkin. Tidak mudah memang, butuh waktu, dan saya harus melakukannya. Berdua.
Saat ini, jarum jam di dinding terus bergerak. Saya tidak ingin kehilangan lelaki itu. Lelaki yang sangat penting dalam hidup saya. Saya yakin, ada banyak perempuan yang mengalami hal sama seperti saya. Just do it! Tak ada waktu untuk meratap dan bersedih.
Masa yang masih manis dan terang adalah masa depan. Tidak peduli masa lalu kita teramat pedih dan perih. Jika kamu adalah perempuan seperti saya, jangan memilih meloncat dari gedung apartemen ini. Kamu harus membuktikan, bahwa kamu memiliki cinta yang pantas untuk diperjuangkan.***