Ketidakpercayaan Diri yang Menyedihkan -->

Advertisement

Ketidakpercayaan Diri yang Menyedihkan

Latif Fianto
Wednesday, September 25, 2019

Ada banyak pembicaraan di dunia ini, dari yang paling kocak, sarkastik, nyinyir tak berdasar, alim, hingga yang sekadar celetukan patah-patah. Bau-baunya seperti mengabarkan keputusasaan, rasa iri dan sakit hati yang dalam, ketidakmampuan yang ditutupi sangat baik dengan kelebihan yang dibuat-buat.
Pembicaraan-pembicaraan seperti itu ada di mana-mana. Kita dapat mendengarnya kapan saja dan di mana saja, di forum-forum ilmiah yang menjual kontroversi, kedai-kedai kopi, hingga ruang-ruang publik di dunia maya. Kita kerap melihatnya di dinding-dinding facebook, twitter, hingga grup-grup percakapan telekomunikasi.
Saya sendiri kerap mendapati pembicaraan seperti itu. Satu yang terbaru adalah ketika saya mendapati beberapa orang bicara tentang sebuah kebijakan sebuah kampus yang menurut mereka rasa-rasanya tak masuk akal di tengah kondisi demokrasi negara kita, banyak yang menyebutnya, sedang terancam. Mereka membicarakan sebuah pengumuman virtual yang disebarkan dari grup ke grup tentang pelarangan mahasiswa untuk turun jalan, ikut aksi, mendemo gedung DPRD untuk menolak RKUHP dan kebijakan-kebijakan lainnya yang tidak pro rakyat. Pembicaraan itu hingga akhirnya sampai pada persoalan istilah-istilah.
Terlepas dari bagaimana kampus juga ikut menjadi semacam rezim represif, yang mengekang mahasiswa menentukan pilihan, berjuang bersama menyuarakan aspirasi yang dianggap urgen dan mendesak atau duduk manis di ruang kelas mendengarkan ceramah dosen, rasan-rasan itu terdengar sangat menyedihkan.
Di antara mereka ada yang nyeletuk: Kampusku sangatlah lucu (Disertai emoticon ketawa sambil nangis).
Soal istilah ada yang bilang: Kahim adalah istilah kampus luar yang akhir-akhir ini booming, sepertinya. Istilah-istilah yang ada di kampus semakin wow dari ke hari-hari.
Satu sisi, pembicaraan seperti yang telah saya gambarkan mungkin terdengar seperti seorang komika yang roasting di atas panggung. Sebuah bentuk apresiasi tertinggi dari para komika untuk mereka yang sedang diroasting, karena tidak sembarangan ngata-ngatain. ‘Ngata-ngatain’ dalam istilah roasting dilakukan di depan orangnya, sebisa mungkin. Tapi kalau di belakang, mungkin bisa disebut sebagai rasan-rasan. Dan rasan-rasan, tidak butuh keberanian lebih untuk melakukannya.
Di sisi yang lain, pembicaraan itu terdengar seperti ketidakpercayaan diri yang sangat menyedihkan. Bagaimana bisa kita mengenakan baju dan lalu menjelek-jelekkannya tiada tanggung, menggunakan mereknya untuk kepentingan pribadi dan kelompok pada saat-saat tertentu. Sebuah ketidakpercayaan diri yang terpendam lalu menguap. Menebar aroma menyedihkan. Kebencian yang tidak sepenuhnya. Kekecewaan dan ketidakpercayaan diri yang baru terekspresikan bila ada sekutu dan kawan. Yang terbakar bila sedikit saja dipantik.
Dunia semakin berkembang dan maju. Manusia yang tidak meng-upgrade pengetahuannya akan tertinggal, terlindas, kalau bukan tewas. Itu rumus, saya kira. Bahasa dari waktu ke waktu mengalami perkembangan dan perubahan. Sesuai konsensus. Istilah pun demikian. Apakah itu salah bahasa? Apakah itu salah teman-teman istilah? (Diadopsi dari dialog Cinta dan Rangga dalam film Ada Apa dengan Cinta). Sek, biar saya tulis dialognya:
Cinta: “....”
Cinta: “Terus sekarang Elo udah berani-berani vonis kita nggak punya kepribadian, nggak prinsipil. Nah sekarang kalau Elo ngerasa aneh di tempat-tempat rame kayak gini itu salah siapa sekarang gue tanyak, salah Gue? Terus kalau Elo sekarang nggak punya temen sama sekali kayak sekarang tuh salah siapa, salah Gue? Salah temen-temen Gue? Salah siapa?”
Tahun 2012, bahkan jauh sebelumnya, istilah-istilah semacam Kahim, Kaprodi, KPS dan istilah-istilah lainnya sudah ada dan digunakan, dan di tahun itu saya sudah tidak merasa aneh. Tidak merasa itu istilah wow yang baru booming. Aneh hanya ketika kita merasa tidak mau tahu, sengaja atau tidak sengaja mengisolir diri dari pergaulan tertentu sehingga ahistoris. Nada-nadanya, boleh jadi, itu juga sebentuk upaya mengerdilkan pernyataan (alibi/pembelaan) orang lain.
Tetapi, saya tidak percaya bahwa kita ahistoris atau sengaja mengisolasi diri dari pergaulan akademik, meski mungkin bagi sebagian orang itu tidak cukup penting ketimbang organisasi-organsiasi lain yang cukup seksi, strategis, dan ideologis.
Saya berharap tidak pernah mendengar pembicaraan-pembicaraan yang seolah memandang negatif setiap objek yang dipandang. Hal-hal seperti itu rasa-rasanya hanya ada di surga. Itu karena saya percaya adanya akhirat.
Kita yang percaya bahwa setiap objek tidak memiliki sisi baik sama sekali tidak akan percaya pada stabilitas dan kebenaran. Yang ada pada mata kita hanya hal-hal buruk dan kita dengan bangga membangun citra negatif soal itu. Menjadi baik atau menutupi keterbatasan tidak bisa dilakukan dengan cara membangun citra negatif tentang orang lain. Itu hanya akan membongkar jauh lebih dalam siapa diri kita yang sebenarnya.
Terakhir, saya ingin mengetengahkan apa yang ditulis Gunawan Mohamad.
Bagi Sartre (yang tak percaya akhirat), seperti itu pula hidup di dunia. Manusia tatap-menatap. Tiap tatapan mengenali, dan kenal berarti berpegang pada satu identitas, dengan memberinya label dan nama. Tiap tatapan menilai, diutarakan atau tidak. Yang ditatap pun jadi obyek: dicap dan ditimbang. Dan jika kita sadari bahwa manusia adalah makhluk yang terus-menerus merasa ditatap (juga dalam mimpi), ketegangan dan kecemasan "aku-jadi-obyek" membuat hidup tak bisa disyukuri.
Kita yang tak bisa bersyukur takkan pernah merasa bahagia. Bahagia sebenar-benarnya bahagia.