Ada
banyak pembicaraan di dunia ini, dari yang paling kocak, sarkastik, nyinyir tak
berdasar, alim, hingga yang sekadar celetukan patah-patah. Bau-baunya seperti
mengabarkan keputusasaan, rasa iri dan sakit hati yang dalam, ketidakmampuan
yang ditutupi sangat baik dengan kelebihan yang dibuat-buat.
Pembicaraan-pembicaraan
seperti itu ada di mana-mana. Kita dapat mendengarnya kapan saja dan di mana
saja, di forum-forum ilmiah yang menjual kontroversi, kedai-kedai kopi, hingga
ruang-ruang publik di dunia maya. Kita kerap melihatnya di dinding-dinding
facebook, twitter, hingga grup-grup percakapan telekomunikasi.
Saya
sendiri kerap mendapati pembicaraan seperti itu. Satu yang terbaru adalah
ketika saya mendapati beberapa orang bicara tentang sebuah kebijakan sebuah kampus
yang menurut mereka rasa-rasanya tak masuk akal di tengah kondisi demokrasi negara
kita, banyak yang menyebutnya, sedang terancam. Mereka membicarakan sebuah
pengumuman virtual yang disebarkan dari grup ke grup tentang pelarangan
mahasiswa untuk turun jalan, ikut aksi, mendemo gedung DPRD untuk menolak RKUHP
dan kebijakan-kebijakan lainnya yang tidak pro rakyat. Pembicaraan itu hingga
akhirnya sampai pada persoalan istilah-istilah.
Terlepas
dari bagaimana kampus juga ikut menjadi semacam rezim represif, yang mengekang
mahasiswa menentukan pilihan, berjuang bersama menyuarakan aspirasi yang dianggap
urgen dan mendesak atau duduk manis di ruang kelas mendengarkan ceramah dosen,
rasan-rasan itu terdengar sangat menyedihkan.
Di
antara mereka ada yang nyeletuk: Kampusku sangatlah lucu (Disertai emoticon
ketawa sambil nangis).
Soal
istilah ada yang bilang: Kahim adalah istilah kampus luar yang akhir-akhir ini booming, sepertinya. Istilah-istilah
yang ada di kampus semakin wow dari ke hari-hari.
Satu
sisi, pembicaraan seperti yang telah saya gambarkan mungkin terdengar seperti
seorang komika yang roasting di atas
panggung. Sebuah bentuk apresiasi tertinggi dari para komika untuk mereka yang
sedang diroasting, karena tidak sembarangan ngata-ngatain.
‘Ngata-ngatain’ dalam istilah roasting
dilakukan di depan orangnya, sebisa mungkin. Tapi kalau di belakang, mungkin
bisa disebut sebagai rasan-rasan. Dan rasan-rasan, tidak butuh keberanian lebih
untuk melakukannya.
Di
sisi yang lain, pembicaraan itu terdengar seperti ketidakpercayaan diri yang
sangat menyedihkan. Bagaimana bisa kita mengenakan baju dan lalu
menjelek-jelekkannya tiada tanggung, menggunakan mereknya untuk kepentingan
pribadi dan kelompok pada saat-saat tertentu. Sebuah ketidakpercayaan diri yang
terpendam lalu menguap. Menebar aroma menyedihkan. Kebencian yang tidak
sepenuhnya. Kekecewaan dan ketidakpercayaan diri yang baru terekspresikan bila
ada sekutu dan kawan. Yang terbakar bila sedikit saja dipantik.
Dunia
semakin berkembang dan maju. Manusia yang tidak meng-upgrade pengetahuannya akan tertinggal, terlindas, kalau bukan
tewas. Itu rumus, saya kira. Bahasa dari waktu ke waktu mengalami perkembangan
dan perubahan. Sesuai konsensus. Istilah pun demikian. Apakah itu salah bahasa?
Apakah itu salah teman-teman istilah? (Diadopsi dari dialog Cinta dan Rangga
dalam film Ada Apa dengan Cinta). Sek, biar saya tulis dialognya:
Cinta:
“....”
Cinta: “Terus
sekarang Elo udah berani-berani vonis kita nggak punya kepribadian, nggak
prinsipil. Nah sekarang kalau Elo ngerasa aneh di tempat-tempat rame kayak gini
itu salah siapa sekarang gue tanyak, salah Gue? Terus kalau Elo sekarang nggak
punya temen sama sekali kayak sekarang tuh salah siapa, salah Gue? Salah
temen-temen Gue? Salah siapa?”
Tahun
2012, bahkan jauh sebelumnya, istilah-istilah semacam Kahim, Kaprodi, KPS dan
istilah-istilah lainnya sudah ada dan digunakan, dan di tahun itu saya sudah
tidak merasa aneh. Tidak merasa itu istilah wow yang baru booming. Aneh hanya ketika kita merasa tidak mau tahu, sengaja atau
tidak sengaja mengisolir diri dari pergaulan tertentu sehingga ahistoris.
Nada-nadanya, boleh jadi, itu juga sebentuk upaya mengerdilkan pernyataan
(alibi/pembelaan) orang lain.
Tetapi,
saya tidak percaya bahwa kita ahistoris atau sengaja mengisolasi diri dari pergaulan
akademik, meski mungkin bagi sebagian orang itu tidak cukup penting ketimbang
organisasi-organsiasi lain yang cukup seksi, strategis, dan ideologis.
Saya
berharap tidak pernah mendengar pembicaraan-pembicaraan yang seolah memandang
negatif setiap objek yang dipandang. Hal-hal seperti itu rasa-rasanya hanya ada
di surga. Itu karena saya percaya adanya akhirat.
Kita
yang percaya bahwa setiap objek tidak memiliki sisi baik sama sekali tidak akan
percaya pada stabilitas dan kebenaran. Yang ada pada mata kita hanya hal-hal
buruk dan kita dengan bangga membangun citra negatif soal itu. Menjadi baik atau
menutupi keterbatasan tidak bisa dilakukan dengan cara membangun citra negatif
tentang orang lain. Itu hanya akan membongkar jauh lebih dalam siapa diri kita
yang sebenarnya.
Terakhir,
saya ingin mengetengahkan apa yang ditulis Gunawan Mohamad.
Bagi
Sartre (yang tak percaya akhirat), seperti itu pula hidup di dunia. Manusia
tatap-menatap. Tiap tatapan mengenali, dan kenal berarti berpegang pada satu
identitas, dengan memberinya label dan nama. Tiap tatapan menilai, diutarakan
atau tidak. Yang ditatap pun jadi obyek: dicap dan ditimbang. Dan jika kita
sadari bahwa manusia adalah makhluk yang terus-menerus merasa ditatap (juga
dalam mimpi), ketegangan dan kecemasan "aku-jadi-obyek" membuat hidup
tak bisa disyukuri.
Kita yang tak bisa
bersyukur takkan pernah merasa bahagia. Bahagia sebenar-benarnya bahagia.