Sepasang Gagak Hitam yang Berciuman di Kelam Malam -->

Advertisement

Sepasang Gagak Hitam yang Berciuman di Kelam Malam

Latif Fianto
Saturday, February 16, 2019

simakterus.com
Seperti sepasang kekasih, sepasang gagak hitam yang saling mencinta juga akan berciuman dengan perasaan paling membuncah.
Hanya itulah ide yang cocok menurutku untuk menuliskan sebuah cerita pendek tentang hewan. Entahlah, aku tidak tahu apa pentingnya hewan dalam sebuah cerita. Mungkin semacam usaha untuk menyelamatkan umat hewan dari keterpurukan dan kemelaratan. Seumpama Nuh yang menyelamatkan seluruh jenis hewan, orang-orang bisa menyebutnya binatang, ke atas perahunya saat banjir besar datang.
Lili Masa, perempuan yang memintaku secara langsung untuk menuliskan kisah pendek tentang hewan, berkata padaku, "Ingat! Kita juga binatang. Binatang yang berpikir."
"Berarti aku boleh memanggilmu binatang?" Tanyaku sambil menatap matanya. Warnanya bening. Dan bijinya berwarna hitam legam.
Lili Masa merengut. "Binatang yang berpikir tak pantas disebut binatang. Itulah sebabnya kita kemudian disebut manusia."
"Karena kita berpikir?"
Lili Masa mengangguk. Pelan dan sangat anggun.
"Bila tidak berpikir?"
"Akan lebih rendah dari binatang melata."
"Sebangsa hewan juga?"
"Kau ini pura-pura tidak tahu atau memang senang memelihara otak udang?" Lili Masa menampakkan raut muka bersungut-sungut. Sedikit memerah serupa pepaya berusia matang.
Sungguh, saat Lili Masa menampakkan aura kemarahannya sedikit saja, aku tidak melihat api di matanya, melainkan bintang-bintang yang berpijar seperti cahaya kunang-kunang. Aku pikir, sejak saat itu, apalagi ditambah keterampilannya melafalkan bahasa orang-orang asing yang tidak bisa kumengerti, aku mulai merasa bahwa aku mungkin sudah merasakan perasaan aneh kepadanya.
"Jadi, apa yang akan kau tulis di dalam cerita pendekmu?" Lili Masa mulai penasaran. Tapi menurutku ia tidak penasaran. Ia hanya ingin memastikan bahwa kali ini aku harus benar-benar ikut menulis kisah pendek untuk proyek karya sastra yang akan dirilis bulan depan.
"Tentang hewan."
"Kau tidak mungkin menulis seluruh kisah hewan yang ada di dunia."
"Aku akan menulis sepasang gagak hitam. Sepasang gagak hitam yang berciuman di kelam malam."
"Baiklah! Aku tunggu ceritamu esok hari sebelum petang."
Lili Masa pergi setelah aku bilang 'oke'. Dan bersamaan dengan itu, matahari pelan-pelan mulai beringsut semakin rendah. Aku merasakan udara senja yang lembut, selembut langkah kaki Lili Masa yang melangkah menjauh, menjauh dan semakin jauh, hingga aku tidak berpikir bahwa aku pernah bertemu dengannya di dunia nyata.
Dan selepas senja yang menua hingga digantikan petang malam yang gulita, aku masih berpikir tentang sepasang gagak hitam yang berciuman. Aku belum pernah melihat sepasang gagak hitam berciuman, tapi aku tahu dengan persis bagaimana alam bekerja. Ia bisa membuat sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dan malam ini aku ingin melihat bagaimana alam bekerja untuk memenuhi keinginanku.
Pertama-tama, aku pergi ke arah barat, berdiri di tengah hamparan sawah yang luas. Tak ada burung apa pun di sana. Hanya ada binatang-binatang pemalas yang berteriak merobek langit. Dan suara itu telah menyebabkan bulan yang mula-mula bundar, kini seperti meleleh terlalap api.
Di arah yang jauh, aku mendengar orang-orang memukul pentongan dan menepuk-nepuk batang pepohonan. Dan sayup-sayup aku mendengar suara mereka.
"Itu gerhana! Gerhana bulan."
"Bangun! Bangun! Bangun! Ada gerhana bulan."
"Oh Gusti, pertanda apakah ini."
"Jagha nyiur, jagha nyiur! Bedeh bulan gherring. Pabennyak abuwe! (Bangun nyiur, bangun nyiur! Ada gerhana bulan. Banyaklah berbuah!)."
Aku berlari ke arah mereka. Menerobos angin malam yang gigil. Seorang anak kecil berdiri mendekap tubuh ibunya. Seorang perempuan yang kulitnya mengerut di seluruh tubuhnya bersimpuh di halaman rumahnya. "Ya Gusti, selamatkan kami dari kesengsaraan!"
Udara semakin dingin. Tapi malam tidak semakin gulita. Kendati bulan sedang gerhana, tapi hamparan langit tetap terlihat. Semacam ada seberkas cahaya samar-samar yang membuat mata mampu melihat sesuatu yang bergerak di sana.
Dan inilah yang terjadi kemudian. Sayup-sayup dari arah utara burung gagak hitam dengan jumlah yang sangat besar terbang ke arah selatan. Mereka terbang mengelilingi langit dan berputar-putar seperti tak punya arah dan kendali. Burung-burung itu menjerit ke sana ke mari. Lalu lalang sekehendaknya sendiri. Gerombolan burung gagak yang sangat banyak itu, aku tidak tahu berapa jumlahnya karena setiap detik selalu saja ada burung gagak lain yang datang, pecah membentuk kelompok-kelompok kecil. Gagak-gagak itu, dalam kelompoknya masing-masing, terbang bergerombol sambil menjerit. Jeritan yang nyaris sama, tapi berbeda.
Orang-orang mulai menepi ke teras rumah. Mata mereka memandangi bagaimana gagak-gagak hitam itu kemudian saling mencabik, dan yang terluka dan tak bisa terbang lagi, jatuh terjerembab ke bumi. Seorang laki-laki dewasa mengambil gagak hitam yang jatuh, membawanya ke teras rumah, lalu diperhatikannya gagak hitam itu mengembuskan napas terakhirnya.
Malam semakin larut. Tapi gagak hitam itu semakin bertambah jumlah dan semakin banyak pula kelompok-kelompok sempalan yang terbang ke sana ke mari. Mereka terbang tak beraturan, saling tabrak, dan mencemooh satu sama lain. Aku tahu ini dari cara mereka menjerit dan lolong suaranya yang mengejek. Aku tidak pernah belajar tentang jenis suara burung, tapi malam ini, entah bagaimana alam memberikan kemampuan memahami jeritan burung-burung, aku merasa telah menjadi seperti Sulaiman yang mampu mengerti bahasa binatang.
Dari arah selatan, gerombolan gagak hitam, dalam pandangan yang samar, terbang dengan liukan tubuh sangat radikal. Gagak-gagak hitam itu meliuk seperti burung besi dan mematuk kepala gagak-gagak hitam lainnya. Gagak-gagak hitam yang tak punya daya lemas dan jatuh ke tanah. Menggelepar dan tersenyum sebelum dijemput kematian.
Saat itu, saat aku menyaksikan bagaimana gagak-gagak hitam itu saling membunuh secara fisik dan batin, Lili Masa datang dengan langkah kaki tergesa dan napas tersengal. Dalam keadaan yang mencekam itu aku masih bisa mencium aroma napasnya yang wangi serupa bau kesturi.
"Ini bukan seperti malam-malam yang pernah ada di bumi. Ada apa, ya?" Lili Masa menyaksikan gagak-gagak hitam itu, lalu berpindah ke mataku.
Aku bergeming. "Mereka saling bunuh. Kejam dan sangat mengerikan."
"Lihatlah itu!"
Jari telunjuk Lili Masa menunjuk ke arah satu gagak hitam yang terbang lebih tinggi dari gagak-gagak hitam lainnya. Lalu ia menukik tajam pada satu gagak lainnya yang sibuk lalu lalang ke sini ke mari, berceloteh dengan jeritan tanpa ketakutan tentang kebenaran-kebenaran yang dikebiri. Dan dua detik kemudian jeritan panjangnya itu terhenti tersebab gagak hitam yang tadi terbang menukik tajam telah berhasil mematahkan batang lehernya. Gagak malang itu jatuh dan mati dikerubungi gagak hitam lain dari kelompoknya yang juga turun ke bumi membawa ribuan cahaya lilin.
"Gagak-gagak hitam itu tak punya akal. Makanya mereka saling tikam," gumam Lili Masa.
"Mereka tidak pantas disebut mamusia."
"Mereka memang bukan manusia."
"Ya, mereka hanya sebangsa binatang, kelakuannya saling tikam."
Itu sudah melewati tengah malam. Orang-orang yang tadi berkumpul di teras, kini mereka masuk ke dalam rumah dan hanya menyisakan orang-orang berusia lanjut yang sudah mencium bau tanah.
Sementara itu langit masih gulita diselubungi gagak-gagak hitam. Bulan gerhana di langit juga sudah tak tampak, karena yang terlihat hanya gagak-gagak hitam yang terus saling menikam, kabur, dan kembali lagi dengan ocehan-ocehan adu domba yang memporak-porandakan arsitektur bangunan persatuan.
Aku menatap wajah Lili Masa yang dengan anggun menatap gagak-gagak hitam itu. Tidak kutemukan rasa takut sedikit pun di matanya. Alisnya hutan. Bibirnya yang berwarna semangka terkatup rapat dan ujungnya runcing serupa ujung kail pancing.
Lamat-lamat seperti gemuruh sayap gagak hitam di langit, aku merasakan gemuruh yang lain di dalam dada. Gemuruh badai yang meletup dan aku berpikir mungkin hanya Lili Masa yang mampu meredakannya. Aku menarik tangan Lili Masa dan melangkah mendekati sebuah pohon di samping gubuk yang hampir reyot.
Lili Masa tidak berkata apa-apa. Diam dengan tatapan yang manja memesona. Dan ketika aku hendak melumat bibirnya yang ranum, dua ekor burung gagak hitam terbang berpisah dari kelompoknya yang masih bertikai di langit. Dua gagak hitam itu terbang beriringan dengan irama sayap yang ritmis. Mereka terbang dan hinggap di sebuah ranting pohon yang gundul. Tubuh mereka berdempetan, mungkin sedang mengalirkan kehangatan di tengah udara malam yang dingin.
"Mereka sedang apa?" Lili Masa menatap dua gagak hitam itu, lalu beralih memandang ke dalam mataku.
"Menghindar dari perang dan menikmati percintaan," jawabku asal.
"Apakah mereka akan bercinta?"
"Bisa jadi. Lihatlah! Mereka berciuman."
Dua gagak hitam itu menyentuhkan ujung-ujung paruhnya. Sepintas mereka seperti dua anak manusia yang saling pagut, dan mungkin dengan napas yang saling memburu.
Tanpa basa basi aku juga melumat bibir Lili Masa. Ia hanya diam dan menikmatinya dengan perasaan paling dalam. Dan benar saja, gemuruh di dalam dadaku pelan-pelan mulai mereda. Tenang seperti laut yang dalam.
"Mungkin mereka sepasang kekasih," kataku kemudian.
"Ya, seperti katamu, mereka sepasang gagak hitam yang berciuman di kelam malam."
Lili Masa menggenggam tanganku. Dan aku berdiri di sisinya, menyaksikan para gagak hitam itu bertikai, saling tikam, dan lari ketika gagak hitam yang lain memburu hendak menangkapnya.