simakterus.com
Seperti sepasang kekasih,
sepasang gagak hitam yang saling mencinta juga akan berciuman dengan perasaan
paling membuncah.
Hanya itulah ide yang cocok
menurutku untuk menuliskan sebuah cerita pendek tentang hewan. Entahlah, aku
tidak tahu apa pentingnya hewan dalam sebuah cerita. Mungkin semacam usaha
untuk menyelamatkan umat hewan dari keterpurukan dan kemelaratan. Seumpama Nuh
yang menyelamatkan seluruh jenis hewan, orang-orang bisa menyebutnya binatang,
ke atas perahunya saat banjir besar datang.
Lili Masa, perempuan yang
memintaku secara langsung untuk menuliskan kisah pendek tentang hewan, berkata
padaku, "Ingat! Kita juga binatang. Binatang yang berpikir."
"Berarti aku boleh memanggilmu
binatang?" Tanyaku sambil menatap matanya. Warnanya bening. Dan bijinya
berwarna hitam legam.
Lili Masa merengut.
"Binatang yang berpikir tak pantas disebut binatang. Itulah sebabnya kita
kemudian disebut manusia."
"Karena kita
berpikir?"
Lili Masa mengangguk. Pelan dan
sangat anggun.
"Bila tidak
berpikir?"
"Akan lebih rendah dari
binatang melata."
"Sebangsa hewan
juga?"
"Kau ini pura-pura tidak
tahu atau memang senang memelihara otak udang?" Lili Masa menampakkan raut
muka bersungut-sungut. Sedikit memerah serupa pepaya berusia matang.
Sungguh, saat Lili Masa
menampakkan aura kemarahannya sedikit saja, aku tidak melihat api di matanya,
melainkan bintang-bintang yang berpijar seperti cahaya kunang-kunang. Aku
pikir, sejak saat itu, apalagi ditambah keterampilannya melafalkan bahasa
orang-orang asing yang tidak bisa kumengerti, aku mulai merasa bahwa aku
mungkin sudah merasakan perasaan aneh kepadanya.
"Jadi, apa yang akan kau
tulis di dalam cerita pendekmu?" Lili Masa mulai penasaran. Tapi menurutku
ia tidak penasaran. Ia hanya ingin memastikan bahwa kali ini aku harus
benar-benar ikut menulis kisah pendek untuk proyek karya sastra yang akan
dirilis bulan depan.
"Tentang hewan."
"Kau tidak mungkin menulis
seluruh kisah hewan yang ada di dunia."
"Aku akan menulis sepasang
gagak hitam. Sepasang gagak hitam yang berciuman di kelam malam."
"Baiklah! Aku tunggu
ceritamu esok hari sebelum petang."
Lili Masa pergi setelah aku
bilang 'oke'. Dan bersamaan dengan itu, matahari pelan-pelan mulai beringsut
semakin rendah. Aku merasakan udara senja yang lembut, selembut langkah kaki
Lili Masa yang melangkah menjauh, menjauh dan semakin jauh, hingga aku tidak
berpikir bahwa aku pernah bertemu dengannya di dunia nyata.
Dan selepas senja yang menua
hingga digantikan petang malam yang gulita, aku masih berpikir tentang sepasang
gagak hitam yang berciuman. Aku belum pernah melihat sepasang gagak hitam
berciuman, tapi aku tahu dengan persis bagaimana alam bekerja. Ia bisa membuat
sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dan malam ini aku ingin melihat
bagaimana alam bekerja untuk memenuhi keinginanku.
Pertama-tama, aku pergi ke arah
barat, berdiri di tengah hamparan sawah yang luas. Tak ada burung apa pun di
sana. Hanya ada binatang-binatang pemalas yang berteriak merobek langit. Dan
suara itu telah menyebabkan bulan yang mula-mula bundar, kini seperti meleleh
terlalap api.
Di arah yang jauh, aku
mendengar orang-orang memukul pentongan dan menepuk-nepuk batang pepohonan. Dan
sayup-sayup aku mendengar suara mereka.
"Itu gerhana! Gerhana
bulan."
"Bangun! Bangun! Bangun!
Ada gerhana bulan."
"Oh Gusti, pertanda apakah
ini."
"Jagha
nyiur, jagha nyiur! Bedeh bulan gherring. Pabennyak abuwe!
(Bangun nyiur, bangun nyiur! Ada gerhana bulan. Banyaklah berbuah!)."
Aku berlari ke arah mereka.
Menerobos angin malam yang gigil. Seorang anak kecil berdiri mendekap tubuh
ibunya. Seorang perempuan yang kulitnya mengerut di seluruh tubuhnya bersimpuh
di halaman rumahnya. "Ya Gusti, selamatkan kami dari kesengsaraan!"
Udara semakin dingin. Tapi
malam tidak semakin gulita. Kendati bulan sedang gerhana, tapi hamparan langit
tetap terlihat. Semacam ada seberkas cahaya samar-samar yang membuat mata mampu
melihat sesuatu yang bergerak di sana.
Dan inilah yang terjadi
kemudian. Sayup-sayup dari arah utara burung gagak hitam dengan jumlah yang
sangat besar terbang ke arah selatan. Mereka terbang mengelilingi langit dan
berputar-putar seperti tak punya arah dan kendali. Burung-burung itu menjerit
ke sana ke mari. Lalu lalang sekehendaknya sendiri. Gerombolan burung gagak
yang sangat banyak itu, aku tidak tahu berapa jumlahnya karena setiap detik
selalu saja ada burung gagak lain yang datang, pecah membentuk
kelompok-kelompok kecil. Gagak-gagak itu, dalam kelompoknya masing-masing,
terbang bergerombol sambil menjerit. Jeritan yang nyaris sama, tapi berbeda.
Orang-orang mulai menepi ke
teras rumah. Mata mereka memandangi bagaimana gagak-gagak hitam itu kemudian
saling mencabik, dan yang terluka dan tak bisa terbang lagi, jatuh terjerembab
ke bumi. Seorang laki-laki dewasa mengambil gagak hitam yang jatuh, membawanya
ke teras rumah, lalu diperhatikannya gagak hitam itu mengembuskan napas
terakhirnya.
Malam semakin larut. Tapi gagak
hitam itu semakin bertambah jumlah dan semakin banyak pula kelompok-kelompok
sempalan yang terbang ke sana ke mari. Mereka terbang tak beraturan, saling
tabrak, dan mencemooh satu sama lain. Aku tahu ini dari cara mereka menjerit
dan lolong suaranya yang mengejek. Aku tidak pernah belajar tentang jenis suara
burung, tapi malam ini, entah bagaimana alam memberikan kemampuan memahami
jeritan burung-burung, aku merasa telah menjadi seperti Sulaiman yang mampu
mengerti bahasa binatang.
Dari arah selatan, gerombolan
gagak hitam, dalam pandangan yang samar, terbang dengan liukan tubuh sangat
radikal. Gagak-gagak hitam itu meliuk seperti burung besi dan mematuk kepala
gagak-gagak hitam lainnya. Gagak-gagak hitam yang tak punya daya lemas dan
jatuh ke tanah. Menggelepar dan tersenyum sebelum dijemput kematian.
Saat itu, saat aku menyaksikan
bagaimana gagak-gagak hitam itu saling membunuh secara fisik dan batin, Lili
Masa datang dengan langkah kaki tergesa dan napas tersengal. Dalam keadaan yang
mencekam itu aku masih bisa mencium aroma napasnya yang wangi serupa bau
kesturi.
"Ini bukan seperti
malam-malam yang pernah ada di bumi. Ada apa, ya?" Lili Masa menyaksikan
gagak-gagak hitam itu, lalu berpindah ke mataku.
Aku bergeming. "Mereka
saling bunuh. Kejam dan sangat mengerikan."
"Lihatlah itu!"
Jari telunjuk Lili Masa
menunjuk ke arah satu gagak hitam yang terbang lebih tinggi dari gagak-gagak
hitam lainnya. Lalu ia menukik tajam pada satu gagak lainnya yang sibuk lalu
lalang ke sini ke mari, berceloteh dengan jeritan tanpa ketakutan tentang
kebenaran-kebenaran yang dikebiri. Dan dua detik kemudian jeritan panjangnya
itu terhenti tersebab gagak hitam yang tadi terbang menukik tajam telah
berhasil mematahkan batang lehernya. Gagak malang itu jatuh dan mati
dikerubungi gagak hitam lain dari kelompoknya yang juga turun ke bumi membawa ribuan
cahaya lilin.
"Gagak-gagak hitam itu tak
punya akal. Makanya mereka saling tikam," gumam Lili Masa.
"Mereka tidak pantas
disebut mamusia."
"Mereka memang bukan
manusia."
"Ya, mereka hanya sebangsa
binatang, kelakuannya saling tikam."
Itu sudah melewati tengah
malam. Orang-orang yang tadi berkumpul di teras, kini mereka masuk ke dalam
rumah dan hanya menyisakan orang-orang berusia lanjut yang sudah mencium bau
tanah.
Sementara itu langit masih
gulita diselubungi gagak-gagak hitam. Bulan gerhana di langit juga sudah tak
tampak, karena yang terlihat hanya gagak-gagak hitam yang terus saling menikam,
kabur, dan kembali lagi dengan ocehan-ocehan adu domba yang memporak-porandakan
arsitektur bangunan persatuan.
Aku menatap wajah Lili Masa
yang dengan anggun menatap gagak-gagak hitam itu. Tidak kutemukan rasa takut
sedikit pun di matanya. Alisnya hutan. Bibirnya yang berwarna semangka terkatup
rapat dan ujungnya runcing serupa ujung kail pancing.
Lamat-lamat seperti gemuruh
sayap gagak hitam di langit, aku merasakan gemuruh yang lain di dalam dada.
Gemuruh badai yang meletup dan aku berpikir mungkin hanya Lili Masa yang mampu
meredakannya. Aku menarik tangan Lili Masa dan melangkah mendekati sebuah pohon
di samping gubuk yang hampir reyot.
Lili Masa tidak berkata
apa-apa. Diam dengan tatapan yang manja memesona. Dan ketika aku hendak melumat
bibirnya yang ranum, dua ekor burung gagak hitam terbang berpisah dari
kelompoknya yang masih bertikai di langit. Dua gagak hitam itu terbang
beriringan dengan irama sayap yang ritmis. Mereka terbang dan hinggap di sebuah
ranting pohon yang gundul. Tubuh mereka berdempetan, mungkin sedang mengalirkan
kehangatan di tengah udara malam yang dingin.
"Mereka sedang apa?"
Lili Masa menatap dua gagak hitam itu, lalu beralih memandang ke dalam mataku.
"Menghindar dari perang
dan menikmati percintaan," jawabku asal.
"Apakah mereka akan
bercinta?"
"Bisa jadi. Lihatlah!
Mereka berciuman."
Dua gagak hitam itu
menyentuhkan ujung-ujung paruhnya. Sepintas mereka seperti dua anak manusia yang
saling pagut, dan mungkin dengan napas yang saling memburu.
Tanpa basa basi aku juga
melumat bibir Lili Masa. Ia hanya diam dan menikmatinya dengan perasaan paling
dalam. Dan benar saja, gemuruh di dalam dadaku pelan-pelan mulai mereda. Tenang
seperti laut yang dalam.
"Mungkin mereka sepasang
kekasih," kataku kemudian.
"Ya, seperti katamu,
mereka sepasang gagak hitam yang berciuman di kelam malam."
Lili Masa menggenggam tanganku. Dan aku berdiri
di sisinya, menyaksikan para gagak hitam itu bertikai, saling tikam, dan lari
ketika gagak hitam yang lain memburu hendak menangkapnya.