Sebuah Jeda -->

Advertisement

Sebuah Jeda

Latif Fianto
Wednesday, February 20, 2019


Kali ini saya menikmati hujan sendirian. Ditemani segelas susu jahe panas di atas meja. Tak ada yang istimewa. Benar-benar tak ada. Selain saya yang masih bisa duduk di atas kursi, bernapas, dikaruniai penglihatan untuk menikmati setiap tetes hujan yang jatuh di atas daun-daun, dua orang laki-laki yang bermain game di meja depan, dan enam orang laki-laki lain di meja sebelah, yang entah meributkan apa, berisik sekali sambil melototi layar ponsel masing-masing. 

Bukan perjalanan yang mudah untuk sampai di sini. Bukan hujan yang berat, tapi segala kenangan yang masih basah. Tapi ini jeda untuk memikirkan ulang apa-apa yang sudah saya alami selama ini. Saya pikir, setiap orang memang harus mengalami jeda biar hidup tak seolah dikejar berbagai tuntutan, hingga lupa hal-hal yang telah dicapai, yang harus dipelajari, diterima sebagai kenyataan. Maka, jeda kali ini saya gunakan untuk pergi ke kedai kopi, menikmati udara bebas: bebas melakukan apa pun tanpa khawatir ada orang lain yang merasa tak diperhatikan, merasa tak dianggap ada, dan perasaan-perasaan lain yang acapkali membuat kita menjadi orang lain. 

Tapi bukan itu sebenarnya yang ingin saya tulis di jeda kali ini. Itu sudah terlalu mainstream. Hampir setiap waktu orang bicara tentang perasaan, cinta dan kasih sayang. Saya ingin menulis sesuatu yang lain. Instabilitas ekonomi, politik, budaya, sosial, misalnya. Tapi semakin saya berusaha menulis tentang hal-hal serius seperti itu saya selalu berpikir tentang sesuatu yang lain. Sesuatu yang seharusnya ada tapi kini tak ada. Sesuatu yang karena ketiadaannya membuat saya selalu merasa bahwa ketiadaannya benar-benar ada. Tapi bukankah manusia kerap berpikir bahwa sesuatu ada tepat pada saat ketiadaan sesuatu itu? 

Ini terlalu rumit. Benar-benar rumit.