Seperti Sebuah Perahu, Kerinduan Kita Butuh Dermaga untuk Berlabuh -->

Advertisement

Seperti Sebuah Perahu, Kerinduan Kita Butuh Dermaga untuk Berlabuh

Latif Fianto
Saturday, April 15, 2017


Saya memiliki masalah dengan memori otak sehingga tidak mudah mengingat sesuatu yang berlalu secara detail. Tapi, mari saya ceritakan sesuatu.
Perjalanan yang saya lalui ke Yogyakarta untuk menghadiri pelatihan menulis Kampus Fiksi angkatan 20 adalah ketiga kalinya bagi saya menaiki kereta api. Dan seperti dikuasai ketakutan, saya selalu merasa takut melakukan perjalanan menggunakan kereta api: takut turun di stasiun yang keliru atau tiba-tiba kereta yang saya tumpangi oleng serta keburukan-keburukan lainnya. Tapi ketika saya berhasil menuntaskan perjalanan itu hingga akhirnya sampai di gedung Kampus Fiksi, saya berpikir bahwa tidak ada yang benar-benar menakutkan ketika kita telah memasuki ketakutan itu.


Maka cerita pun dimulai. Saya bertemu dengan kalian. Kalian? Ya, kalian, peserta Kampus Fiksi angkatan 20. Eits, ada satu lagi yang ketelisut, ternyata ada pula alumni Kampus Fiksi angkatan sebelumnya. Seorang perempuan. Dan inilah yang istimewa. Saya beritahu inisialnya: kamu sering ngomong, bukan kebanyakan ngomong.
Saya menyadari, untuk sebuah inisial, nama itu sangat panjang. Tapi begitulah. Apalah arti sebuah nama bila ikatan keluarga baru ini telah menjadi warna baru dalam hidup kita. Warna? Apakah hanya semacam hiasan? Oh tentu tidak. Sebuah warna adalah sebuah pembeda. Sebuah identitas.
Lalu tentang kalian semua. Ini bukan tentang mereka, tapi tentang kita. Adakah yang berani jujur bahwa setelah malam itu kita mulai merasa bahwa kita telah melepas kepergian keluarga baru? Adakah yang berani mengakui bahwa setelah Pak Edi menyampaikan pesan-pesannya, kita seolah jiwa-jiwa yang sebetulnya telah ditakdirkan untuk bertemu? Adakah di antara kita yang saat ini meraba hati dan berkata sangat pelan, aku dan kau adalah orang-orang yang dipilih Tuhan untuk bertatap muka meski hanya tiga hari? Adakah di antara kita yang berani mengatakan dengan lantang, “Aku dan kau adalah satu: keluarga Kampus Fiksi yang haru biru.”
Seharusnya saya mengingat nama-nama kalian. Sebab ini semua tentang kita. Kita yang hangat, kita yang gokil, kita yang ramai, kita yang minum teh, kita yang bermain gitar sambil menyanyikan lagu paling indah, kita yang antri untuk mandi, kita yang mendirikan shalat berjamaah, kita yang saling toleransi, kita yang tidur berdampingan dan bercerita banyak hal sebelum terlelap pulas, kita yang menonton film, kita yang saling gojlok dan malu-malu untuk memuji satu sama lain, kita yang terpesona, kita yang ternyata tiba-tiba menyukai seseorang yang berawal dari pandangan pertama, kita, kita, dan kita yang… Ah.. Alamak, bila saya harus menjelaskan tentang kita, takkan pernah ada habis-habisnya.
Jadi, masihkah kita ingat tentang kebersamaan itu?
Saya tidak terlalu ingat nama-nama panitia dan pemateri dengan baik. Saya sebut saja, dan mohon maaf kalau ada yang salah, Pak Edi, Agus Noor, Mbak Rina, Mbak Avivah, Mbak Ajah, Mas Reza, Mas Wahyu, Mas Imam, Mas Wawan, Mbak Mini GK, Mas Ahfa dan yang lainnya. Tetapi semoga saja dengan tidak disebutkannya nama-nama yang lain tidak menjadikan saya sebagai salah satu keluarga yang durhaka. Ini semata keterbatasan saya sebagai manusia yang tidak mampu mengingat setiap hal dengan baik.
Sekali lagi, takkan pernah ada habisnya bila saya harus mengingat tentang kita. Saya ingat di antara kalian berkata yang kira-kira begini bunyinya: bila saya harus membenci satu hal, maka saya akan membenci perjumpaan. Sebab setiap yang berawal dari perjumpaan selalu pasti akan berakhir dengan perpisahan.
Tetapi, saya tidak akan membenci perjumpaan kita. Kalian tahu kenapa? Sebab berawal dari perjumpaan kita yang tak saling mengenal itu, kini kita telah menjadi keluarga KF angkatan 20. Setiap yang datang akan pergi lagi. Kita bertandang tidak untuk menetap selamanya, tapi hanya sekadar singgah, mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Boleh jadi kita akan bertemu lagi. Bercerita banyak hal tentang hal-hal yang sudah kita lakukan selama saling menjauh. Dan sambil menunggu saat-saat pertemuan berikutnya itu, barangkali kerinduan di dalam hati kita akan semakin membuncah. Jelas, seperti sebuah perahu, kerinduan kita butuh dermaga untuk berlabuh.
Akhirnya, atas segala hal yang telah kita pertukarkan selama mengikuti acara Kampus Fiksi periode 20, barangkali ada sikap dan kata yang sengaja maupun tidak sengaja melukai perasaan kalian, saya meminta maaf yang tiada batasnya. Jujur saja, saat kita akhirnya harus berpisah, kita belum sempat berjabat tangan dan mengatakan: kita akan bertemu lagi di lain waktu.

Malang, 29 Maret 2017