Di
antara kita barangkali sangat bahagia bila menghadiri acara perayaan ulang
tahun. Tidak terkecuali saya saat menghadiri perayaan hari lahir organisasi Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) ke 62 Kota Malang. Awalnya terbesit di
dalam benak, barangkali sebagaimana perayaan hari lahir sebagian besar organisasi;
ada potong tumpeng, tiup lilin atau berbagi pesan dan kesan dari alumni.
Bayangan dalam benak saya tiba-tiba buyar tatkala masuk pada acara inti.
Ternyata saya disuguhi sebuah perbincangan hangat tentang upaya mengembalikan
kembali karakter bangsa Indonesia yang berkebudayaan.
Perbincangan
ini diawali dengan pertanyaan penuh selidik dan sedikit berbau kecurigaan:
benarkah bangsa Indonesia memiliki karakter kebudayaan sehingga harus
dikembalikan seperti sediakala? Atau jangan-jangan bangsa ini seperti buih di
lautan, yang sebenarnya tidak memiliki prinsip dan jati diri?
Mula-mula
perbincangan dimulai dari gelitikan-gelitikan serius untuk menemukan kembali
karakter kebudayaan bangsa yang mulai tertindih budaya baru yang lahir dari
peradaban modern, yaitu kapitalisme. Bahkan bukan hanya tertindih, melainkan
sudah tergerus oleh budaya-budaya kekinian. Kenyataan ini yang mengantarkan setiap
individu yang hadir saat itu bertanya-tanya dalam pikiran, apa sebenarnya
karakter kebudayaan bangsa kita?
Pertanyaan
bermata kail ini sebetulnya memecut ketidaksadaran diri bahwa lambat laun kita
mulai kehilangan identitas diri sebagai sebuah bangsa agraris, yang pada masa
kerajaan Majapahit menjadi bangsa maritim yang sangat besar. Pertanyaan ini
pula memacu hati dan pikiran untuk menemukan kembali karakter kebudayaan kita
yang sudah terlampau jauh tenggelam dalam lingkaran industri dan kapitalisme.
Berbicara
budaya dan kebudayaan, tentu tidak bisa dilepaskan dari interaksi sosial
kekinian suatu kelompok masyarakat. Sebab, budaya merupakan buah dari cipta,
rasa dan karsa manusia yang berkembang dari waktu ke waktu. Kenyataan bahwa
karakter kebudayaan bangsa kita mulai tergerus menjadi bukti bahwa tanpa rasa
kepemilikan dan kecintaan untuk terus mempertahankan, sebuah karakter akan
terbunuh dan lenyap. Ini membuktikan bahwa di dunia ini tidak ada yang tidak
berubah. Heraclitus (540-480 SM), seorang filosof alam dari Ephesus di Asia
Kecil mengungkapkan, segala sesuatu terus mengalir, yang berarti segala sesuatu
terus mengalami perubahan.
Pernyataan
filosofis ini terbukti dalam proses perkembangan masyarakat Indonesia yang
mengalami perubahan hingga empat fase. Pertama,
fase komunal primitif. Di fase ini, masyarakat mempertahankan hidup dengan cara
bergantung pada alam. Alat produksi yang dipakai adalah batu. Mereka bekerjasama
secara kolektif. Kedua, fase
feodalisme atau dalam bahasa Karl Marx disebut sebagai masyarakat feodal. Pada
fase ini, kelas tertinggi ada di tangan kaum feodal atau golongan paling elit,
yaitu raja, bangsawan dan agamawan. Nilai-nilai sosial yang terbentuk pada fase
ini adalah primordialisme (kesukuan), patriarki, monarki absolut dan mitos. Ketiga, fase kapitalisme, yaitu fase masyarakat
yang dikuasai oleh para pemilik modal. Menurut Marx, kapitalisme membangun
sistem sosio-ekonomi dengan jalan mencari keuntungan yang diperoleh dari proses
produksi, yaitu mengorganisasikan mekanisme produksi tertentu sehingga
mengurangi biaya produksi seminimal mungkin. Menurut Marx, kelas-kelas sosial
dalam masyarakat kapitalis ini terbagi menjadi kelas pemilik modal, kelas
penguasa, kelas angkatan perang, kelas cendekiawan, kelas feodal, dan kelas
buruh.
Dari masyarakat kapitalis ini kemudian kembali
lagi ke masyarakat komunal, namun tidak primitif. Dalam pandangan Marx, ini
disebut sebagai masyarakat sosialisme, yang sebetulnya merupakan anak dari
kapitalisme. Masyarakat sosialisme merupakan fase keempat dalam perkembangan
masyarakat Indonesia. Fase ini lahir dari perjuangan revolusioner kelas buruh
atau kaum proletar dalam upaya menghancurkan kapitalisme. Masyarakat sosialis
adalah masyarakat yang bekerjasama secara kolektif dengan alat-alat produksi yang
dihasilkan dari kebudayaan yang lebih tinggi dari masyarakat komunal primitif.
Sampai
pada titik ini, mengingat keberagaman etnis, budaya, suku, bahasa dan agama
yang ada di Indonesia, maka sebetulnya masyarakat ini adalah masyarakat multi
publik. Masyarakat yang mampu bekerjasama dalam keberagaman. Masyarakat yang
setiap kerjanya didasarkan pada nilai-nilai kolektivitas, tenggang rasa dan
kesetaraan. Nilai-nilai ini hanya terkandung dalam budaya gotong royong yang
saat ini mulai tergerus, tertindih dan bahkan sengaja dijauhkan dari interaksi
sosial masyarakat dan bangsa Indonesia. Gotong royong adalah upaya saling
bahu-membahu, saling merasa, dan saling membantu. Duduk sama rendah, berdiri
sama tinggi. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.
Gotong
royong memiliki nilai-nilai universal yang lentur, yang sebetulnya sudah
terjalin jauh sebelum negara ini berbentuk republik dengan sistem politik
demokrasi. Sebagai misal, di pelosok-pelosok daerah, karakter kebudayaan
semacam ini, dari sebelum zaman penjajahan hingga sekarang masih terjalin meski
tidak sehangat dulu. Hal semacam ini bisa dilihat dari kekompakan masyarakat di
pelosok-pelosok desa saat hendak membangun rumah, bercocok tanam atau pada saat
memanen.
Contoh
lain karakter budaya gotong royong ini bisa dilihat dari masyarakat jalanan.
Malang merupakan salah satu contoh kota yang memiliki masyarakat jalanan, meski
tidak menutup kemungkinan masyarakat yang sama juga ada di kota-kota lain. Di
dalam masyarakat jalanan, terkandung nilai-nilai toleransi, tenggang rasa, dan
kebersamaan untuk saling menguatkan. Mereka bahu-membahu untuk bertahan hidup
di tengah kerasnya arus kehidupan.
Masyarakat
jalanan mampu mengatasi permasalahan dalam kelompok mereka tanpa harus menunggu
bantuan dari kaum elit. Bila yang satu sakit, individu lainnya bahu-membahu
mengumpulkan uang dan membawa temannya berobat. Inilah sebetulnya contoh kecil
dari karakter kebudayaan gotong royong. Namun persoalan yang muncul kemudian, karakter
ini mulai tergerus dari kehidupan sosial kita. Kaum terpelajar seringkali
meneriakkan antikapitalisme, tapi sikapnya mencerminkan kapitalisme itu sendiri.
Ibarat sebuah istilah, tubuh ini sudah sakit, namun kita tidak mau berpaling
dari sikap yang semakin memperparah sakit itu.
Ini
adalah contoh kecil bagaimana kapitalisme sebetulnya selalu berkelindan di
depan mata. Dampak yang diakibatkan oleh kapitalisme ini adalah egoisme dan
keengganan untuk berinteraksi dalam sosio-kultural masyarakat. Oleh sebab itu,
satu-satunya cara untuk tetap menghidupkan karakter kebudayaan bangsa kita
adalah dengan menghidupkan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam budaya
gotong royong.
Gotong
royong menuntut adanya kejujuran sosial. Selain daripada itu, masyarakat gotong
royong adalah masyarakat yang mau mengakui potensi orang lain sebaik ia
mengakui potensi dirinya sendiri. Masyarakat yang kuat secara prinsip dan tidak
berbasa basi. Masyarakat yang tegas dalam menolak keburukan dan tidak gengsi
menerima kebenaran. Pemahaman ini senada dengan semboyan Malang Kucecwara, yang
berarti Tuhan menghancurkan yang bathil dan menegakkan yang benar.
Terlepas
dari semua itu, sudah menjadi kewajiban bagi siapa saja yang merasa dirinya
lahir di negeri Indonesia, memakai bahasa Indonesia dan memakan hasil bumi
Indonesia untuk selalu menjunjung karakter kebudayaan yang sudah bertahun-tahun
terpatri dalam jiwa. Kiranya perlu ditanam dalam dada, di mana kaki berpijak di
situ langit seharusnya dijunjung.*
*Terbit di Riau Pos Edisi 3
April 2016