Dalam setiap penampilannya, Lady Gaga mirip pemuja setan dengan berbagai properti di tubuhnya. Keterbukaan kostum yang dipakainya banyak mengeksplorasi gerak dan bentuk tubuh yang menimbulkan syahwat. Begitu pula dengan lirik-lirik lagunya yang apabila dikontekstualisasikan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat Indonesia sangat tidak cocok.
Begitu kira-kira penyampaian Ismawati, pemateri dalam diskusi terkait pembatalan konser Lady Gaga yang dimotori oleh PMII Rayon Ad-dakhil Fisip pada 04 Juni 2012.
Dalam diskusi yang berlangsung kurang
lebih dua jam tersebut, ada beberapa peserta diskusi yang berargumen bahwa
mengapa kedatangan Lady Gaga yang dipermasalahkan begitu alot dan heboh
sedangkan kelakuan masyarakat sendiri yang bahkan melebihi si Lady Gaga hanya dianggap angin biasa. Maka, ada apa sebenarnya
dengan kedatangan Lady Gaga di Indonesia? atmosfer seperti apa yang dibawa Lady
Gaga sehingga banyak kalangan yang mengecam kedatangannya? mari kita diskusikan!
Di banyak media massa, baik cetak maupun
elektronik, terjadi berbagai polemik terkait rencana pagelaran terbesar dalam
sejarah konser musik Indonesia, yaitu konser Monster Babon (Mother Monster).
Little Monster, sebutan fans Lady Gaga kecewa karena konser yang sedianya
digelar di Gelora Bung Karno, Jakarta, 3 Juni 2012 kemarin gagal. Hal ini
menyusul pernyataan pembatalan konser Lady
Gaga oleh Big Daddy Entertainment, promotor manajemen Lady Gaga.
Berbagai polemik pro dan kontra
kedatangan Lady Gaga di Jakarta bisa ditarik kesimpulan yang mengkrucut bahwa
yang pro brangkat dari argumen kebebasan berekspresi. Sebaliknya, mereka yang
kontra berangkat dari pemahaman bahwa konser Lady Gaga berpotensi besar
mengancam moralitas anak bangsa. Walaupun pada akhirnya kemenangan berpihak
pada mereka yang kontra terhadap konser Sang Mother Monster.
Banyak kalangan mengatakan bahwa Lady
Gaga ditengarai sebagai pengikut kaum pemuja setan. Sudah barang tentu ini akan
berpengaruh buruk pada kehidupan keagamaan dan keberagaman di Indonesia.
Menurut Ismawati, hal tersebut juga akan mengikis kecintaan masayarakat Indonesia
khusunya para pemuda pada nilai-nilai kearifan lokal negaranya.
Apabila mau menilik lebih jauh apa itu
sebenarnya pemuja setan, berbagai stigma buruk yang ada pada Lady Gaga sangat
gampang kita temui dalam kehidupan masyarakat kita. Tidak mesti sama persis
permasalahannya, namun secara kontekstual permasalahan moralitas yang rendah
dan pemujaan pada setan dalam bentuk yang lain kerap kita jumpai dalam
kehidupan. Penampilan-penampilan Lady Gaga yang katanya mengumbar gerak dan
lekuk tubuh yang sensual dan erotis ternyata banyak kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari. Di berbagai macam konser musik, walaupun tidak secara keseluruhan,
banyak artis kita dengan bangganya mengumbar gerak dan lekuk tubuhnya yang
indah (itupun kalau indah, sebab tidak jarang penulis temui artis-artis sensual
dan erotis di bawah standar kejamalan) secara gratis, yang menurut penulis
lebih ekstrem dari si Lady Gaga. Artinya,
ada atau tidak ada Lady Gaga di Indonesia, fenomena amoral dan pemujaan
terhadap setan sudah menjadi konsumsi empuk di Indonesia. Maaf, bukan maksud
untuk merendahkan kualitas moral bangsa sendiri tapi fakta di lapangan
berbicara demikian.
Sebut saja tawuran dan perkelahian antarsiswa,
antarpemuda dan semacamnya masih terjadi dimana-mana. Terbaru adalah aksi pengeroyokan
suporter sepak bola Persib Bandung oleh Jack Mania di Gelora Bung Karno saat
Persija menjamu Persib di putaran ISL. Pemakaian narkoba, tindak asusila para
orang tua terhadap anaknya, pergaulan bebas dan berbagai macam sikap amoral
lainnya menjadi aksentuasi kemorosotan moral bangsa ini sudah memasuki tingkat
akut.
Di aspek yang lain, bentuk-bentuk atau
simbol-simbol pemujaan terhadap setan mulai lahir dengan wajah baru. Dalam
perkembangan zaman mutakhir, pemujaan bukan lagi diartikan sebagai menyembah
batu keramat, pohon besar dan angker, gunung, hewan ataupun matahari, namun beralih
rupa dalam bentuk baru, yaitu gaya hidup hedonis, konsumtif, korupsi, gila
jabatan dan mabuk kursi kekuasaan. Jika demikian halnya, lantas apa bedanya
kita dengan Lady Gaga?
Hal-hal seperti itulah yang semestinya
mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan di Indonesia. Disadari atau
tidak, dengan berbagai indikasi dan manifestasi dorongan nafsu tadi, sebenarnya
telah memposisikan diri bangsa ini sebagai “pemuja setan”. Oleh karena itu,
segala sesuatunya berada di bawah kendali diri kita sendiri. Sejauh mana kita
bisa menfilter kualitas sikap yang memberikan kontribusi positif pada
peningkatan kualitas hidup kita, maka hal-hal negatif dan merugikan seperti
tadi akan mudah dibuang jauh-jauh.
Maka fenomena gagalnya konser Lady Gaga –
dengan berbagai statemen negatifnya – tidak akan mampu memberikan energi
positif dan tidak akan bermakna banyak bila sekarang dan esok kita tetap
bergelimang dalam kehidupan amoral yang katanya tidak cocok dengan nilai-nilai
kesopanan yang dianut masyrakat kita. Absennya Lady Gaga tidak akan banyak merubah
permasalahan moralitas bangsa ini jika kita masih gemar mengkultuskan “setan-setan”
baru berwujud materi dan kursi.
Rasulullah SAW pernah memperingatkan: Di
kolong langit ini tidak ada Tuhan yang disembah yang lebih besar dalam
pandangan Allah selain dari hawa nafsu yang dituruti. Karenanya, mari segeralah
berbenah, baik secara individu maupun secara kolektif, agar stempel “pemuja
setan” sejati tidak menempel di tubuh bangsa ini.
*Tulisan ini
adalah hasil diskusi yang diadakan oleh Departemen Sosial dan Politik PMII
Rayon Ad-dakhil Fisip, 04 Juni 2012