Pemuja Setan: Antara Lady Gaga (L) dan Masyarakat Indonesia* (Dialektika gagalnya konser Lady Gaga ditilik dari aspek Agama dan Sosial Budaya) -->

Advertisement

Pemuja Setan: Antara Lady Gaga (L) dan Masyarakat Indonesia* (Dialektika gagalnya konser Lady Gaga ditilik dari aspek Agama dan Sosial Budaya)

Latif Fianto
Saturday, June 9, 2012



Dalam setiap penampilannya, Lady Gaga mirip pemuja setan dengan berbagai properti di tubuhnya. Keterbukaan kostum yang dipakainya banyak mengeksplorasi gerak dan bentuk tubuh yang menimbulkan syahwat. Begitu pula dengan lirik-lirik lagunya yang apabila dikontekstualisasikan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat Indonesia sangat tidak cocok. 

 Begitu kira-kira penyampaian Ismawati, pemateri dalam diskusi terkait pembatalan konser Lady Gaga yang dimotori oleh PMII Rayon Ad-dakhil Fisip pada 04 Juni 2012.
Dalam diskusi yang berlangsung kurang lebih dua jam tersebut, ada beberapa peserta diskusi yang berargumen bahwa mengapa kedatangan Lady Gaga yang dipermasalahkan begitu alot dan heboh sedangkan kelakuan masyarakat sendiri yang bahkan melebihi si Lady Gaga hanya dianggap angin biasa. Maka, ada apa sebenarnya dengan kedatangan Lady Gaga di Indonesia? atmosfer seperti apa yang dibawa Lady Gaga sehingga banyak kalangan yang mengecam kedatangannya? mari kita diskusikan!
Di banyak media massa, baik cetak maupun elektronik, terjadi berbagai polemik terkait rencana pagelaran terbesar dalam sejarah konser musik Indonesia, yaitu konser Monster Babon (Mother Monster). Little Monster, sebutan fans Lady Gaga kecewa karena konser yang sedianya digelar di Gelora Bung Karno, Jakarta, 3 Juni 2012 kemarin gagal. Hal ini menyusul pernyataan pembatalan konser  Lady Gaga oleh Big Daddy Entertainment, promotor manajemen Lady Gaga.
Berbagai polemik pro dan kontra kedatangan Lady Gaga di Jakarta bisa ditarik kesimpulan yang mengkrucut bahwa yang pro brangkat dari argumen kebebasan berekspresi. Sebaliknya, mereka yang kontra berangkat dari pemahaman bahwa konser Lady Gaga berpotensi besar mengancam moralitas anak bangsa. Walaupun pada akhirnya kemenangan berpihak pada mereka yang kontra terhadap konser Sang Mother Monster.
Banyak kalangan mengatakan bahwa Lady Gaga ditengarai sebagai pengikut kaum pemuja setan. Sudah barang tentu ini akan berpengaruh buruk pada kehidupan keagamaan dan keberagaman di Indonesia. Menurut Ismawati, hal tersebut juga akan mengikis kecintaan masayarakat Indonesia khusunya para pemuda pada nilai-nilai kearifan lokal negaranya.
Apabila mau menilik lebih jauh apa itu sebenarnya pemuja setan, berbagai stigma buruk yang ada pada Lady Gaga sangat gampang kita temui dalam kehidupan masyarakat kita. Tidak mesti sama persis permasalahannya, namun secara kontekstual permasalahan moralitas yang rendah dan pemujaan pada setan dalam bentuk yang lain kerap kita jumpai dalam kehidupan. Penampilan-penampilan Lady Gaga yang katanya mengumbar gerak dan lekuk tubuh yang sensual dan erotis ternyata banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Di berbagai macam konser musik, walaupun tidak secara keseluruhan, banyak artis kita dengan bangganya mengumbar gerak dan lekuk tubuhnya yang indah (itupun kalau indah, sebab tidak jarang penulis temui artis-artis sensual dan erotis di bawah standar kejamalan) secara gratis, yang menurut penulis lebih ekstrem dari si Lady Gaga. Artinya, ada atau tidak ada Lady Gaga di Indonesia, fenomena amoral dan pemujaan terhadap setan sudah menjadi konsumsi empuk di Indonesia. Maaf, bukan maksud untuk merendahkan kualitas moral bangsa sendiri tapi fakta di lapangan berbicara demikian.
Sebut saja tawuran dan perkelahian antarsiswa, antarpemuda dan semacamnya masih terjadi dimana-mana. Terbaru adalah aksi pengeroyokan suporter sepak bola Persib Bandung oleh Jack Mania di Gelora Bung Karno saat Persija menjamu Persib di putaran ISL. Pemakaian narkoba, tindak asusila para orang tua terhadap anaknya, pergaulan bebas dan berbagai macam sikap amoral lainnya menjadi aksentuasi kemorosotan moral bangsa ini sudah memasuki tingkat akut.
Di aspek yang lain, bentuk-bentuk atau simbol-simbol pemujaan terhadap setan mulai lahir dengan wajah baru. Dalam perkembangan zaman mutakhir, pemujaan bukan lagi diartikan sebagai menyembah batu keramat, pohon besar dan angker, gunung, hewan ataupun matahari, namun beralih rupa dalam bentuk baru, yaitu gaya hidup hedonis, konsumtif, korupsi, gila jabatan dan mabuk kursi kekuasaan. Jika demikian halnya, lantas apa bedanya kita dengan Lady Gaga?
Hal-hal seperti itulah yang semestinya mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan di Indonesia. Disadari atau tidak, dengan berbagai indikasi dan manifestasi dorongan nafsu tadi, sebenarnya telah memposisikan diri bangsa ini sebagai “pemuja setan”. Oleh karena itu, segala sesuatunya berada di bawah kendali diri kita sendiri. Sejauh mana kita bisa menfilter kualitas sikap yang memberikan kontribusi positif pada peningkatan kualitas hidup kita, maka hal-hal negatif dan merugikan seperti tadi akan mudah dibuang jauh-jauh.
Maka fenomena gagalnya konser Lady Gaga – dengan berbagai statemen negatifnya – tidak akan mampu memberikan energi positif dan tidak akan bermakna banyak bila sekarang dan esok kita tetap bergelimang dalam kehidupan amoral yang katanya tidak cocok dengan nilai-nilai kesopanan yang dianut masyrakat kita. Absennya Lady Gaga tidak akan banyak merubah permasalahan moralitas bangsa ini jika kita masih gemar mengkultuskan “setan-setan” baru berwujud materi dan kursi.
Rasulullah SAW pernah memperingatkan: Di kolong langit ini tidak ada Tuhan yang disembah yang lebih besar dalam pandangan Allah selain dari hawa nafsu yang dituruti. Karenanya, mari segeralah berbenah, baik secara individu maupun secara kolektif, agar stempel “pemuja setan” sejati tidak menempel di tubuh bangsa ini.


*Tulisan ini adalah hasil diskusi yang diadakan oleh Departemen Sosial dan Politik PMII Rayon Ad-dakhil Fisip, 04 Juni 2012