Menulis: Menemukan Jati Diri -->

Advertisement

Menulis: Menemukan Jati Diri

Latif Fianto
Wednesday, January 27, 2016



Banyak manusia dihadapkan pada ambiguitas dan ambivalensi dalam hidupnya, sehingga ia ibarat hanya seonggok daging yang tak punya jati diri. Hidupnya gamang. Terhempas bagai kapas. Terombang ambing bagai buih di tengah lautan. Bagai sampan yang tak punya arah. Keluar tak mengganjilkan, ke dalam tak menggenapkan, ke atas tak berpucuk, ke bawah tak berakar.
Paradigma berpikir manusia seperti ini tergolong terbalik, upset down, yang kebutuhan menjadi keinginan, yang keinginan menjadi kebutuhan. Ia tidak bisa membuat skala prioritas dalam hidupnya. Berangkat dari keadaan seperti itu, menulis menjadi salah satu cara jitu untuk menemukan jati diri yang sebenarnya.


Mengutip perkataan Subaidi Pratama, pendiri Komunitas Sastra Malam Reboan Malang, bahwa menulis bukan sebentuk keinginan, tetapi kebutuhan yang akan dapat mengantarkan manusia kepada wujud yang sebenarnya. Dari miliaran manusia yang ada di muka bumi, sebagian besar dari mereka memilih menulis sebagai proses kreativitas yang mampu membuat dirinya kekal dikenang zaman. Kiranya ini juga menjadi jalan visioner Khairil Anwar yang berteriak dalam penggalan sajaknya, aku ingin hidup seribu tahun lagi.   
Hal demikian juga dilakukan oleh Charles Dickens melalui novelnya yang berjudul A Tale of Two Cities, atau J. R. R. Tolkien melalui novelnya The Lord of The Rings dan The Hobbit. Dalam sejarah sastra Tiongkok ada Cao Xueqin dengan novelnya yang terkenal sejak zaman Dinasti King yaitu Hong Lu, atau dalam bahasa Inggris disebut Dream of The Red Chamber, atau Impian Pavilium Merah dalam versi bahasa Indonesia. Ada pula The Davinci Code dan Angels and Demons karya Dan Brown, Harry Potter and The Deathly Hallows dari J.K. Rowling serta masih banyak buku lainnya.
Di Indonesia, ada banyak buku-buku sastra yang keharumannya tak lekang oleh waktu. Sebagai misal, buku Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah dengan Nyanyian Sunyinya, dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka. Ada pula yang belakangan ini menyerbu banyak toko buku di Indonesia adalah Tetralogi Pramoedya Ananta Toer, yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Selain itu, masih banyak lagi karya-karya sastra lainnya sebagai salah satu bentuk bukti jati diri penulisnya.
Harus dikatakan, apa pun bentuk dari karya itu, yang paling utama adalah harus berkualitas. Seorang penulis perlu mengerahkan semua tenaga dan pikiran sepenuhnya untuk menggapai cita-cita besar yang sudah dirancang dalam cakrawala kehidupan. Subaidi yang sementara ini masih gusar bercampur gelisah memikirkan cara jitu agar tulisannya semakin sering bertengger manis di dinding-dinding koran nasional dan lokal itu mengatakan begini, "Sebanyak apa pun pikiran yang kau kuras untuk dituangkan dalam tulisanmu, maka ia tidak akan berkurang".
Kalimat itu menjadi pecut – kata ‘pecut’ cocok dengan anak-anak Madura yang menurut D. Zawawi Imron adalah sapi kerapan – untuk menelorkan tulisan-tulisan yang tak hanya melahirkan kenikmatan temporal, namun tak pernah padam ditikam waktu. Pertanyaannya adalah, sejauh mana kita telah menguras pikiran itu? Sejauh mana kita telah berlama-lama dan setia memasuki ruang perenungan yang dalam dan panjang?
Jawabannya tentu tak perlu langsung ditulis macam menulis komentar di facebook atau media sosial lainnya. Cukup setiap pribadi menyadari dan kemudian mengejawantahkannya ke dalam aksi nyata. Sebab, apa yang diketahui tak seharusnya hanya mengendap di dalam kepala. Ia akan belumut dan berkarat – syukur kalau tidak lenyap – bila tidak direalisasikan dalam kehidupan nyata. Ada yang perlu dicamkan, bahwa kita hidup di dunia nyata, dunia yang penuh intrik dan tendensi politis. Bersikap acuh, kecanduan bersenggama tanpa henti dengan cyber world hanya akan membuat pisau analisa dan parang berkarya kita mengarat.
Mari kita hadirkan perspektif yang diungkapkan Antony Robin, seorang motivator dan juga penulis, bahwa knowing isn't enough, you must take action. Senada dengan Robin, dalam sebuah diskusi, Ach. Dhafir Zuhri, penulis buku Filsafat Timur mengatakan, jika seseorang melihat dan mengetahui lantai sedang kotor, namun seseorang itu membiarkan saja, maka ia hanya sampai pada batas berilmu (mengetahui) saja. Ia tidak sampai pada level berakhlak atau beradab. Dengan bahasa lain, pengetahuan yang tidak dikejawantahkan, akan menjadi sia-sia.
Saya kira sudah cukup kita mengulang-ulang sesuatu atau gagasan yang disampaikan di setiap pertemuan tanpa memperoleh sesuatu yang baru dan maju dari hasil proses kreativitas kita. Sudah saatnya untuk kembali kepada proses katarsis batin, untuk kemudian menemukan jati diri yang hakiki sebagai seorang penulis. Tidak ada yang bisa menamakan dirinya sebagai seorang penyair, sastrawan, atau secara general seorang penulis, kecuali dari kualitas dan produktivitas menulisnya.
Seorang penyair tidak akan disebut penyair bila ia tidak menulis puisi. Namun menjadi sesuatu yang naif, bila seseorang hanya menulis satu, sampai tiga kali saja, namun kemudian setelah predikat itu melekat di pundaknya, ia berhenti menulis. Sesuatu yang sangat miris, bukan? Oleh sebab itu, menulis adalah pekerjaan agung, yang untuk melakukannya perlu imajenasi dan perenungan yang dalam. Bila tulisan-tulisan sudah lahir dari ujung pena kita, maka tanpa harus dijelaskan, dunia akan mengetahui siapa jati diri kita yang sebenarnya.

Latif Fianto, lahir di Sumenep, pecinta buku, menulis cerpen dan esai, sekarang tinggal di Malang bergiat di Komunitas Sastra Malam Reboan.