Banyak manusia dihadapkan pada ambiguitas dan ambivalensi dalam hidupnya, sehingga ia ibarat hanya seonggok daging yang tak punya jati diri. Hidupnya gamang. Terhempas bagai kapas. Terombang ambing bagai buih di tengah lautan. Bagai sampan yang tak punya arah. Keluar tak mengganjilkan, ke dalam tak menggenapkan, ke atas tak berpucuk, ke bawah tak berakar.
Paradigma berpikir
manusia seperti ini tergolong terbalik, upset
down, yang kebutuhan menjadi keinginan, yang keinginan menjadi kebutuhan.
Ia tidak bisa membuat skala prioritas dalam hidupnya. Berangkat dari keadaan
seperti itu, menulis menjadi salah satu cara jitu untuk menemukan jati diri
yang sebenarnya.
Mengutip perkataan
Subaidi Pratama, pendiri Komunitas Sastra Malam Reboan Malang, bahwa menulis
bukan sebentuk keinginan, tetapi kebutuhan yang akan dapat mengantarkan manusia
kepada wujud yang sebenarnya. Dari miliaran manusia yang ada di muka bumi,
sebagian besar dari mereka memilih menulis sebagai proses kreativitas yang
mampu membuat dirinya kekal dikenang zaman. Kiranya ini juga menjadi jalan
visioner Khairil Anwar yang berteriak dalam penggalan sajaknya, aku ingin hidup seribu tahun lagi.
Hal demikian juga
dilakukan oleh Charles Dickens melalui novelnya yang berjudul A Tale of Two Cities, atau J. R. R.
Tolkien melalui novelnya The Lord of The
Rings dan The Hobbit. Dalam
sejarah sastra Tiongkok ada Cao Xueqin dengan novelnya yang terkenal sejak
zaman Dinasti King yaitu Hong Lu,
atau dalam bahasa Inggris disebut Dream
of The Red Chamber, atau Impian Pavilium Merah dalam versi bahasa Indonesia.
Ada pula The Davinci Code dan Angels and Demons karya Dan Brown, Harry Potter and The Deathly Hallows
dari J.K. Rowling serta masih banyak buku lainnya.
Di Indonesia, ada
banyak buku-buku sastra yang keharumannya tak lekang oleh waktu. Sebagai misal,
buku Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah dengan
Nyanyian Sunyinya, dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka. Ada pula
yang belakangan ini menyerbu banyak toko buku di Indonesia adalah Tetralogi Pramoedya
Ananta Toer, yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah
Kaca. Selain itu, masih banyak lagi karya-karya sastra lainnya sebagai salah
satu bentuk bukti jati diri penulisnya.
Harus dikatakan, apa
pun bentuk dari karya itu, yang paling utama adalah harus berkualitas. Seorang
penulis perlu mengerahkan semua tenaga dan pikiran sepenuhnya untuk menggapai
cita-cita besar yang sudah dirancang dalam cakrawala kehidupan. Subaidi yang
sementara ini masih gusar bercampur gelisah memikirkan cara jitu agar
tulisannya semakin sering bertengger manis di dinding-dinding koran nasional
dan lokal itu mengatakan begini, "Sebanyak apa pun pikiran yang kau kuras
untuk dituangkan dalam tulisanmu, maka ia tidak akan berkurang".
Kalimat itu menjadi
pecut – kata ‘pecut’ cocok dengan anak-anak Madura yang menurut D. Zawawi Imron
adalah sapi kerapan – untuk menelorkan tulisan-tulisan yang tak hanya melahirkan
kenikmatan temporal, namun tak pernah padam ditikam waktu. Pertanyaannya
adalah, sejauh mana kita telah menguras pikiran itu? Sejauh mana kita telah
berlama-lama dan setia memasuki ruang perenungan yang dalam dan panjang?
Jawabannya tentu tak perlu
langsung ditulis macam menulis komentar di facebook
atau media sosial lainnya. Cukup setiap pribadi menyadari dan kemudian
mengejawantahkannya ke dalam aksi nyata. Sebab, apa yang diketahui tak
seharusnya hanya mengendap di dalam kepala. Ia akan belumut dan berkarat – syukur
kalau tidak lenyap – bila tidak direalisasikan dalam kehidupan nyata. Ada yang
perlu dicamkan, bahwa kita hidup di dunia nyata, dunia yang penuh intrik dan
tendensi politis. Bersikap acuh, kecanduan bersenggama tanpa henti dengan cyber world hanya akan membuat pisau
analisa dan parang berkarya kita mengarat.
Mari kita hadirkan
perspektif yang diungkapkan Antony Robin, seorang motivator dan juga penulis, bahwa
knowing isn't enough, you must take
action. Senada dengan Robin, dalam sebuah diskusi, Ach. Dhafir Zuhri,
penulis buku Filsafat Timur mengatakan, jika seseorang melihat dan mengetahui
lantai sedang kotor, namun seseorang itu membiarkan saja, maka ia hanya sampai
pada batas berilmu (mengetahui) saja. Ia tidak sampai pada level berakhlak atau
beradab. Dengan bahasa lain, pengetahuan yang tidak dikejawantahkan, akan
menjadi sia-sia.
Saya kira sudah cukup
kita mengulang-ulang sesuatu atau gagasan yang disampaikan di setiap pertemuan
tanpa memperoleh sesuatu yang baru dan maju dari hasil proses kreativitas kita.
Sudah saatnya untuk kembali kepada proses katarsis batin, untuk kemudian
menemukan jati diri yang hakiki sebagai seorang penulis. Tidak ada yang bisa
menamakan dirinya sebagai seorang penyair, sastrawan, atau secara general seorang
penulis, kecuali dari kualitas dan produktivitas menulisnya.
Seorang penyair tidak
akan disebut penyair bila ia tidak menulis puisi. Namun menjadi sesuatu yang
naif, bila seseorang hanya menulis satu, sampai tiga kali saja, namun kemudian
setelah predikat itu melekat di pundaknya, ia berhenti menulis. Sesuatu yang
sangat miris, bukan? Oleh sebab itu, menulis adalah pekerjaan agung, yang untuk
melakukannya perlu imajenasi dan perenungan yang dalam. Bila tulisan-tulisan
sudah lahir dari ujung pena kita, maka tanpa harus dijelaskan, dunia akan
mengetahui siapa jati diri kita yang sebenarnya.
Latif
Fianto, lahir di Sumenep, pecinta buku, menulis cerpen dan esai, sekarang
tinggal di Malang bergiat di Komunitas Sastra Malam Reboan.