Saya
setuju bila disebut bahwa novel Vegetarian berisi kisah indah yang mencekam.
Kekerasan dalam kepolosannya yang paling murni. Saya bukan termasuk pembaca
yang kuat, tapi ketika mengetahui novel ini telah memenangkan Man
Booker International Prize, saya mencoba memburunya.
Mula-mula,
saya berpikir bahwa novel ini mungkin bercerita tentang vegetarianisme. Murni
tentang itu. Tapi setelah saya jajaki dalam beberapa jam, ternyata novel ini
menceritakan lebih banyak hal yang mencekam tapi mengasyikkan untuk
diselesaikan. Kim Yeong Hye yang tiba-tiba berubah sikapnya dan menjadi
vegetarian sehabis mengalami mimpi buruk hanya sebuah pembuka untuk kisah yang
lebih panjang dan mencekam. Jahat, sadis, tapi tak bisa disebut demikian. Itu istilah
yang cukup kasar untuk sebuah cerita kejam yang menakjubkan. Tapi, kekejaman
pun tidak bisa mewakilinya. Masih terlalu kasar. Mencekam dan mengasyikkan,
sebagaimana yang dikatakan Eka Kurniawan untuk novel ini, adalah istilah yang
tepat, dan saya mengamini itu.
Sebagai
seorang pembaca sastra yang baru mau menaiki tangga pertama, itu pun kalau bisa
disebut demikian, saya cukup terperangah dengan pembukanya: bagaimana bisa
seseorang yang mengalami mimpi buruk bangun menjadi orang yang sama sekali
berbeda. Yeong Hye menjadi tak suka daging, semua yang berbau daging,
bahkan ia juga mencium bau daging pada tubuh suaminya, dan karenanya ia tak
akan makan daging selamanya.
Hubungan
dengan suaminya menjadi berantakan. Ia tak lagi berkeinginan untuk berhubungan
badan. Kemudian ia menjadi kurus dan semakin kurus.
Mula-mula
ia melihat darah dari jarinya yang tergores pisau dapur yang lepas dari
gagangnya. Ia memasukkannya ke mulut. Warna merah darah dengan rasa agak
manis berhasil menenangkannya. Semuanya berawal dari ketika ia melihat kubangan
darah dan sebuah wajah terpantul di sana untuk kali pertama.
Lalu,
ia bermimpi tentang seseorang yang membunuh seseorang dan seseorang yang lain
menyembunyikannya dengan sempurna. Tapi, ia melupakannya saat terbangun. Entah
aku yang membunuh atau dibunuh. Seandainya aku yang membunuh, siapa yang
kubunuh dengan tanganku? Apakah kamu? Aku yakin orang itu sangat dekat
denganku. Atau apakah kamu yang membunuhku? Lalu siapa yang menyembunyikannya?
Ia
menggorok leher seseorang di dalam mimpinya. Saat ia terus menggorok, ia
pegangi kepalanya karenanya lehernya tidak kunjung putus. Ia mungkin mencongkel
bola matanya, karena kemudian bola mata licin orang yang ia gorok lehernya
berada di telapak tangannya. Dan kemudian, ia tak bisa tidur. Setiap ia tidur
lebih dari lima menit, mimpi itu akan datang lagi.
Ia
mengalami mimpi buruk yang mengganggu kejiawaannya, atau memang ia mengalami
gangguan kejiwaan sehingga setelah berbagai kejadian lain yang mengerikan ia
dibawa ke rumah sakit. Han Kang tidak hanya bercerita tentang sikap seseorang
yang berubah setelah mengalami mimpi buruk, tapi tentang sesuatu yang lebih
mencekam. Boleh jadi tentang bunuh-membunuh dan usaha untuk menyembunyikannya
dengan sempurna.
Tetapi
bukan hanya itu. Cerita mengalir melewati gang yang semakin sempit—tapi
nyatanya cerita itu serupa semesta yang terbentang di kepala—dan penuh dengan
tragedi-tragedi kecil, biasa, dan normal yang melukai nilai-nilai kemanusiaan.
Yeong
Hye ditawari menjadi model karya video kakak iparnya, dan ia harus buka baju.
Setelah mengalami serangkaian tragedi ia menjadi polos dan semacam kehilangan
sesuatu yang nas dalam dirinya. Si kakak ipar menyuruh Yeong Hye untuk membuka
baju, tengkurap, dan ia merekam gambar itu dengan utuh. Ia mengambil kuas dan
mulai menggambar bunga dari leher Yeong Hye, di bokong, dan nyaris di seluruh
tubuh wanita itu.
Proyek
pembuatan karya video itu belum selesai. Si kakak ipar berpikir harus
benar-benar ada penetrasi penyatuan lingga-yoni. Ia menggambar bunga-bunga pada
tubuh Yeong Hye dan tubuhnya sendiri. Ia membuat gambaran penyatuan kejam
dirinya dengan Yeong Hye yang paling buruk sekaligus paling indah. Ia
melakukan sesuatu “yang seperti itu” kepada seorang yang mentalnya belum
sembuh, dan mereka, menurut istri si kakak ipar, harus dibawa ke rumah sakit
dan diobati.
Han
Kang menulis tentang sesuatu yang mengerikan dalam balutan cerita seksualitas.
Tidak. Mungkin bisa juga disebut sebagai eksploitasi seksual. Jadi, pada
kedalamannya yang paling cekam, bukan pada hal-hal yang sekadar tampak pada
mata. Ia menulis sesuatu yang mengerikan sekaligus asyik tentang manusia.
Dan ia tidak menggurui sesuatu apa pun.
Di
dalam ambulans yang melintas di seberang hutan lebat musim panas percakapan
mereka, dua perempuan, terjadi. “Di dalam mimpi … itu seolah segalanya. Tapi,
kamu tahu ternyata itu bukan segalanya setelah terbangun, kan? Karenanya, jika
kita terbangun satu saat … saat itu …”