Tahun ini—beberapa tahun yang lalu—saya melewati liburan terpanjang di kampung halaman, di Sumenep. Lebih dari tiga minggu. Untuk menemani liburan ini saya menyiapkan beberapa buku, tapi akhirnya saya hanya membawa dua buku. Satu buku puisi, dan satu lagi novel yang ada di gambar. Saya bertekad menyelesaikan novel ini sebelum kembali bergumul dengan berbagai macam rutinitas. Dan itu bukan sesuatu yang sulit. Saya menyelesaikannya lebih cepat dari waktu liburan usai dan lebih lambat dari yang seharusnya saya bisa lakukan. Beruntung saya membawa buku untuk mengisi waktu luang, dan terutama untuk mencairkan perasaan-perasaan yang membeku.
Dan memang itu yang saya lakukan ketika bepergian,
mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan dalam perjalanan atau di tempat
tujuan. Saya sering melakukannya, meski kadang tak sempat membaca karena tak
terjadi hal-hal di luar rencana. Omong-omong soal The Windup Girl, ada banyak
hal yang ingin saya sampaikan tentangnya. Tapi, pada akhirnya hanya inilah yang
muncul. Novel ini bicara kemungkinan masa depan umat manusia yang lebih konkret
dari sekadar apa yang sudah banyak dilakukan manusia akhir-akhir ini dalam
upayanya berusaha menjadi seperti Tuhan. Hal ini tidak berbeda dengan ketika
Harari menyinggungnya sedikit di akhir buku Sapiens dan yang kemudian
dibicarakannya dalam Homo Deus.
"Suatu hari, mungkin semua orang akan menjadi Orang Baru dan kau akan melihat kami seperti kami sekarang melihat Neanderthal yang malang." Itu percakapan perekayasa genetika dengan Emiko, gadis robot, yang mampu melakukan apa saja, lebih baik dari manusia dari segala sisi, kecuali tidak bisa berkembang biak karena tidak punya rahim. Tapi dengan sehelai rambutnya, orang baru sejenis Emiko di masa depan bisa dibuat fertil, menjadi bagian dari dunia alami.
Kita menunggu apa yang bisa dibuat para ilmuan untuk dunia, mungkinkah manusia berubah menjadi Homo Deus, manusia yang (menyerupai) Tuhan, sebagaimana kemungkinan yang digambarkan Harari.***