Matanya
sendu serupa langit musim dingin. Pikirannya berlari meninggalkan dirinya. Ia
merasa sendiri. Ditikam sepi berkali-kali.
“Cinta
memang sulit ditemukan. Tetapi sekali kau menemukannya, ia akan menjadi cinta
yang sulit dilupakan,” ia bicara kepada dirinya sendiri.
“Sangat
sulit.”
“Sesuatu
akan terasa sulit jika hanya menggelembung di pikiran.”
Di
Ruang Singgah, tempat anak-anak muda diskusi dan minum kopi, bayangan seorang
perempuan dengan bibir merah mungil sedikit terbuka datang memayungi
pikirannya. Ia pernah sangat mencintai perempuan itu. Wangi napasnya masih
sangat ia ingat. Kerling matanya yang seperti kilau permata tak mau pergi dari
sudut kepalanya. Bahkan dibayangkannya, seandainya sekarang perempuan itu menjadi
janda muda yang kesepian, apakah ia akan kembali kepadanya?
Pikirannya
mengembara ke sebuah dunia sangat luas hingga ia kehilangan apa yang harus dikerjakannya
kini dan rencana-rencana yang harus dilakukannya esok. Ia melewatkan kenikmatan
minum kopi karena pikirannya terlampau dikuasai suara-suara yang datang dari
dunia yang jauh di masa lalu. Rumah berdinding kayu jati yang tepat di
sebelahnya berdiri kandang sapi. Kamar-kamar tak berpintu dengan ranjang
berkasur keras dan bantal yang tak lagi empuk. Dapur berlantai tanah dan ruang
tamu luas dengan hanya satu kursi panjang di bawah jendela yang dibiarkan
terbuka sepanjang hari.
“Orang
yang hidup di masa depan tidak akan bahagia, sama tidak bahagianya dengan orang
yang hidup di masa lalu,” seorang perempuan yang dari tadi duduk di hapadannya
membuyarkan lamunan itu.
Ia
segera menatap perempuan itu dengan rasa malu yang tak dapat ia sembunyikan
dari wajahnya.
“Aku
tidak sedang hidup di dua masa yang berbeda itu.”
“Matamu
tak pandai berbohong.”
“Kau
juga.”
“Aku?”
“Matamu
seperti sedang mengabarkan kesedihan atau sebuah ketakutan.”
Ia
sudah berkali-kali ketemu perempuan itu tanpa direncanakan. Ketika menunggu
angkutan umum di halte perempuan itu tiba-tiba muncul dengan senyum lebar.
Menyapanya dengan suara renyah yang tak dimiliki perempuan mana pun. Kalungnya
tampak menyolok pada kulit dadanya yang putih. Rambutnya yang hitam dan lurus yang
kadang dipermainkan angin menyibak lehernya yang indah.
Di
hadapannya perempuan itu bercerita banyak hal. Terutama tentang rencana kantor
tempatnya bekerja untuk mengadakan peringatan hari ibu. Aku tidak ingin acara
yang sama seperti sebelum-sebelumnya, bosan melakukan hal yang sama setiap
tahun, katanya sambil menutup mulut dengan kedua tangan. Kau tahu, ujarnya lagi,
setiap tahun, untuk memperingati hari yang sama ini, perusahaanku pergi ke
panti membagi-bagikan sembako. Lalu ia mengingat-ingat, pernah sih memperingatinya
dengan cara menonton film dokumenter lalu berdikusi, tapi seperti yang kulihat,
tidak banyak perempuan yang suka berdiskusi. Yang lebih menjengkelkan, katanya
seolah ia tidak ingin mengatakannya tapi sudah terlanjur membuka kalimat baru,
mereka tidak mau diajak berpikir dan cenderung mau terima jadi. Tapi tahun lalu
tidak ada acara apa-apa. Perempuan yang diserahi tugas mengorganisasi
kegiatan-kegiatan para perempuan meninggalkan perusahaan dan menikah dengan
laki-laki yang sebenarnya tidak dicintainya tapi sekarang sudah punya
anak.
Mendengar
kalimat terakhir ia kembali mengembara pada perempuan yang kerap dibayangkannya
sudah menjadi seorang janda muda yang kesepian. Mungkin perempuan itu sangat
bahagia bersama suaminya hingga tak pernah menghubunginya lagi seperti saat
mereka masih bertunangan dan kerap bertengkar karena si calon suami temperamen
dan sering memperbesar persoalan-persoalan yang sebenarnya tidak lebih besar
dari sebutir debu. Tetapi, mungkin juga perempuan itu merasa tidak bahagia
meskipun sudah mengandung tapi tidak jadi melahirkan karena keguguran dan
sekarang sedang menjalani masa pisah ranjang untuk bercerai. Perempuan itu
merasa tertekan sekaligus menyesal dan untuk keluar dari kondisi yang demikian
perempuan itu rela datang jauh-jauh ke kota ini hanya untuk memandu sebuah
acara tidak terlalu bergengsi di hadapan para mahasiswa.
Seusai
acara itu ia sempat mendatangi perempuan itu dan berjabat tangan sambil
menanyakan hal-hal kecil, seperti kapan sampai, naik apa, dan kapan balik lagi.
Dari cara menjawabnya perempuan itu gugup luar biasa. Dengan senyum yang
dipaksakan tersungging dan buru-buru mengalihkan pandang pada sudut lain sangat
jelas mengabarkan bahwa perempuan itu masih ingat semuanya dengan jelas. Ia tambah
kurus dan kulitnya makin gelap, meski senyumnya tetap indah. Kemungkinan besar
perempuan itu memilih lebih banyak bekerja di ladang membantu bapak dan
mamaknya daripada tinggal di rumah tapi tidak menemukan kebahagiaan. Terlebih
lagi, mungkin, untuk mengangkat harkat dan martabat keluarga, suaminya bergabung
dengan sebuah partai dan sibuk melakukan kampanye pemenangan menjelang pemilihan
anggota dewan.
“Mungkinkah
di dunia ini ada orang yang menikah, punya anak dan cucu, tapi tak pernah bisa
mencintai pasangannya?”
“Apanya?”
tanya perempuan di hadapannya.
“O,
tidak. Maksudku, apakah setiap orang yang menikah sudah pasti bahagia?”
“Kau
ragu apa takut?”
“Dua-duanya.”
“Kita
hanya berbagi kehidupan dengan orang yang kita percaya.”
Ia
menatap mata perempuan di hadapannya ketika perempuan itu berkata bahwa setiap
orang pasti pernah merasa ragu dan takut untuk memasuki sesuatu yang baru dalam
hidupnya. Kemudian perempuan itu menulis rencana-rencana pelaksanaan peringatan
hari ibu di atas kertas dan mengutarakan ketakutan-ketakutannya karena ia
sendiri yang sekarang diserahi tugas mengorganisasi kegiatan tersebut. Perempuan
itu berkata, perempuan-perempuan yang lain tak pernah bisa diajak koordinasi,
bahkan untuk ngopi membicarakan hal-hal santai saja tidak ada yang merespons.
Kadang, ujarnya lagi seperti ingin menumpahkan seluruh kesedihan yang menumpuk,
aku ingin menghilang dan meninggalkan seluruh tugas seperti yang pernah
dilakukan perempuan-perempuan lain sebelum aku.
“Aku
pernah bilang dalam suatu rapat. Aku tidak bisa melakukan tugas-tugas yang
kupegang tanpa ada dukungan dan rangkulan dari atasan. Direktur tak pernah
bertanya bagaimana programku, apa saja yang perlu dibantu, atau
motivasi-motivasi kecil yang dapat memupuk semangat.”
Perempuan
itu mengambil gelas dan meneguk isinya. Matanya terlihat mau menumpahkan
sesuatu, tapi ia tahan. Mungkin malu bila harus menangis di depan laki-laki
yang bukan siapa-siapa baginya, selain teman berbagi kesedihan dan luka-luka
kecil. Ia membetulkan letak rambutnya seolah sedang berdiri di muka sebuah
cermin. Dari tipis bibir dan bulan sabit senyumnya tak bisa diragukan bahwa ia
memang cantik, tapi melankolis.
Wajah
perempuan itu begitu dekat sehingga ia bisa melihat dengan jelas bulu-bulu
halus di bawah hidungnya yang mancung, bibirnya yang basah karena terlalu
banyak bercerita, dan kulit halus tangannya ketika perempuan itu memberitahu
bahwa tulisannya kurang bagus dan ia akan menyalinnya dengan tulisan yang lebih
baik.
“Jadi,
bagaimana menurutmu?”
“Sesuai
rencanamu yang awal. Pergi ke panti, membagi-bagikan sembako”
“Tapi
itu sudah pernah dilakukan.”
“Kemas
berbeda.”
“Bagaimana
kalau diisi story telling?”
“Ide
yang tidak buruk.”
“Sebelum
ke panti aku juga ingin mengadakan lomba puisi. Tentang ibu. Tapi apa ya
temanya?”
Ia
memperhatikan perempuan di hadapannya, terutama ketika perempuan itu
membetulkan lagi letak rambutnya. “Ibu adalah gua pertapaanku,” katanya kemudian.
Perempuan itu langsung menulis lagi dan melempar senyum kepadanya. Hangat. Mengalahkan
dingin angin yang terempas oleh gerimis yang turun di luar.
Saat
masih SD, ia sering menulis puisi untuk ibu. Ia juga sering ikut ibunya ke
gunung, ke pantai menyiangi cemara, atau ke pesisir menjual gula jawa. Ia
senang saat ibunya mengajak ke pantai. Ia suka bermain-main di bagian yang
dangkal sebelum ibunya mendudukkannya di bahu dan membawanya semakin jauh ke
yang lebih dalam. Ia teriak-teriak sambil menjambak rambut ibunya karena takut
jatuh dan tenggelam. Ibunya hanya tertawa terpingkal-pingkal dan bilang
semuanya akan baik-baik saja. Kadang-kadang ia menarik rok ibunya ke tepi, lalu
menggambar wajah ibunya di atas pasir sebelum hilang disapu ombak.
Tapi
ketika ia sudah berani pergi ke pantai sendirian dan bermain-main ombak di
bagian yang dalam hingga air menyentuh batang lehernya, ibunya telah pergi dan
ia tidak sempat mengatakan apa-apa. Waktu itu ia sudah bisa melukis wajah
ibunya di atas kanvas. Ia berlatih siang dan malam untuk menghasilkan sebuah
lukisan sebagai hadiah yang akan ia berikan kepadanya saat peringatan hari ibu.
Namun sebelum hari itu tiba ibunya telah pergi dari rumah dan hanya
meninggalkan surat di dekat bantalnya. Awalnya ia tidak tahu alasan ibunya
pergi, hingga kemudian ia mengerti bahwa ibunya tidak pernah bahagia, karena
bapaknya kerap pergi dengan perempuan-perempuan lain yang lebih segar dan
cantik. Sudah lama ibunya ingin pergi tapi tidak dilakukan karena tidak mau
melihat dirinya tumbuh dan besar tanpa orang tua yang lengkap. Kejadian itulah yang
memberinya pelajaran tentang arti rindu dan betapa sakitnya ditikam sepi.
Dari
Ruang Singgah ia membayangkan kembali peristiwa-peristiwa itu.
Peristiwa-peristiwa yang membuat dirinya merasa sendiri ditikam sepi
berkali-kali. Ia ingin keluar dari keraguan dan ketakutan yang membuat dirinya
berada dalam gelap masa lalu. Ia ingin meraih sepotong cahaya yang bisa membawa
dirinya pulang ke rumah. Keluar dari ketakutan-ketakutan.
“Mau
kau menjadi ibu dari anak-anakku?” tanyanya pada perempuan di hadapannya.
Pertanyaan itu sudah lama ia pikirkan, tapi baru sekarang bisa ia ungkapkan.
Sangat pelan perempuan itu mengangkat wajah. Lama sekali ia diam sebelum akhirnya berkata, “Kita hanya berbagi kehidupan dengan orang yang kita percaya.”***