Kita Hanya Berbagi Kehidupan dengan Orang yang Kita Percaya -->

Advertisement

Kita Hanya Berbagi Kehidupan dengan Orang yang Kita Percaya

Latif Fianto
Tuesday, January 26, 2021


Matanya sendu serupa langit musim dingin. Pikirannya berlari meninggalkan dirinya. Ia merasa sendiri. Ditikam sepi berkali-kali.

“Cinta memang sulit ditemukan. Tetapi sekali kau menemukannya, ia akan menjadi cinta yang sulit dilupakan,” ia bicara kepada dirinya sendiri.

“Sangat sulit.”

“Sesuatu akan terasa sulit jika hanya menggelembung di pikiran.”

Di Ruang Singgah, tempat anak-anak muda diskusi dan minum kopi, bayangan seorang perempuan dengan bibir merah mungil sedikit terbuka datang memayungi pikirannya. Ia pernah sangat mencintai perempuan itu. Wangi napasnya masih sangat ia ingat. Kerling matanya yang seperti kilau permata tak mau pergi dari sudut kepalanya. Bahkan dibayangkannya, seandainya sekarang perempuan itu menjadi janda muda yang kesepian, apakah ia akan kembali kepadanya?

Pikirannya mengembara ke sebuah dunia sangat luas hingga ia kehilangan apa yang harus dikerjakannya kini dan rencana-rencana yang harus dilakukannya esok. Ia melewatkan kenikmatan minum kopi karena pikirannya terlampau dikuasai suara-suara yang datang dari dunia yang jauh di masa lalu. Rumah berdinding kayu jati yang tepat di sebelahnya berdiri kandang sapi. Kamar-kamar tak berpintu dengan ranjang berkasur keras dan bantal yang tak lagi empuk. Dapur berlantai tanah dan ruang tamu luas dengan hanya satu kursi panjang di bawah jendela yang dibiarkan terbuka sepanjang hari.

“Orang yang hidup di masa depan tidak akan bahagia, sama tidak bahagianya dengan orang yang hidup di masa lalu,” seorang perempuan yang dari tadi duduk di hapadannya membuyarkan lamunan itu.

Ia segera menatap perempuan itu dengan rasa malu yang tak dapat ia sembunyikan dari wajahnya.

“Aku tidak sedang hidup di dua masa yang berbeda itu.”

“Matamu tak pandai berbohong.”

“Kau juga.”

“Aku?”

“Matamu seperti sedang mengabarkan kesedihan atau sebuah ketakutan.”

Ia sudah berkali-kali ketemu perempuan itu tanpa direncanakan. Ketika menunggu angkutan umum di halte perempuan itu tiba-tiba muncul dengan senyum lebar. Menyapanya dengan suara renyah yang tak dimiliki perempuan mana pun. Kalungnya tampak menyolok pada kulit dadanya yang putih. Rambutnya yang hitam dan lurus yang kadang dipermainkan angin menyibak lehernya yang indah.

Di hadapannya perempuan itu bercerita banyak hal. Terutama tentang rencana kantor tempatnya bekerja untuk mengadakan peringatan hari ibu. Aku tidak ingin acara yang sama seperti sebelum-sebelumnya, bosan melakukan hal yang sama setiap tahun, katanya sambil menutup mulut dengan kedua tangan. Kau tahu, ujarnya lagi, setiap tahun, untuk memperingati hari yang sama ini, perusahaanku pergi ke panti membagi-bagikan sembako. Lalu ia mengingat-ingat, pernah sih memperingatinya dengan cara menonton film dokumenter lalu berdikusi, tapi seperti yang kulihat, tidak banyak perempuan yang suka berdiskusi. Yang lebih menjengkelkan, katanya seolah ia tidak ingin mengatakannya tapi sudah terlanjur membuka kalimat baru, mereka tidak mau diajak berpikir dan cenderung mau terima jadi. Tapi tahun lalu tidak ada acara apa-apa. Perempuan yang diserahi tugas mengorganisasi kegiatan-kegiatan para perempuan meninggalkan perusahaan dan menikah dengan laki-laki yang sebenarnya tidak dicintainya tapi sekarang sudah punya anak. 

Mendengar kalimat terakhir ia kembali mengembara pada perempuan yang kerap dibayangkannya sudah menjadi seorang janda muda yang kesepian. Mungkin perempuan itu sangat bahagia bersama suaminya hingga tak pernah menghubunginya lagi seperti saat mereka masih bertunangan dan kerap bertengkar karena si calon suami temperamen dan sering memperbesar persoalan-persoalan yang sebenarnya tidak lebih besar dari sebutir debu. Tetapi, mungkin juga perempuan itu merasa tidak bahagia meskipun sudah mengandung tapi tidak jadi melahirkan karena keguguran dan sekarang sedang menjalani masa pisah ranjang untuk bercerai. Perempuan itu merasa tertekan sekaligus menyesal dan untuk keluar dari kondisi yang demikian perempuan itu rela datang jauh-jauh ke kota ini hanya untuk memandu sebuah acara tidak terlalu bergengsi di hadapan para mahasiswa.

Seusai acara itu ia sempat mendatangi perempuan itu dan berjabat tangan sambil menanyakan hal-hal kecil, seperti kapan sampai, naik apa, dan kapan balik lagi. Dari cara menjawabnya perempuan itu gugup luar biasa. Dengan senyum yang dipaksakan tersungging dan buru-buru mengalihkan pandang pada sudut lain sangat jelas mengabarkan bahwa perempuan itu masih ingat semuanya dengan jelas. Ia tambah kurus dan kulitnya makin gelap, meski senyumnya tetap indah. Kemungkinan besar perempuan itu memilih lebih banyak bekerja di ladang membantu bapak dan mamaknya daripada tinggal di rumah tapi tidak menemukan kebahagiaan. Terlebih lagi, mungkin, untuk mengangkat harkat dan martabat keluarga, suaminya bergabung dengan sebuah partai dan sibuk melakukan kampanye pemenangan menjelang pemilihan anggota dewan. 

“Mungkinkah di dunia ini ada orang yang menikah, punya anak dan cucu, tapi tak pernah bisa mencintai pasangannya?”

“Apanya?” tanya perempuan di hadapannya.

“O, tidak. Maksudku, apakah setiap orang yang menikah sudah pasti bahagia?”

“Kau ragu apa takut?”

“Dua-duanya.”

“Kita hanya berbagi kehidupan dengan orang yang kita percaya.”

Ia menatap mata perempuan di hadapannya ketika perempuan itu berkata bahwa setiap orang pasti pernah merasa ragu dan takut untuk memasuki sesuatu yang baru dalam hidupnya. Kemudian perempuan itu menulis rencana-rencana pelaksanaan peringatan hari ibu di atas kertas dan mengutarakan ketakutan-ketakutannya karena ia sendiri yang sekarang diserahi tugas mengorganisasi kegiatan tersebut. Perempuan itu berkata, perempuan-perempuan yang lain tak pernah bisa diajak koordinasi, bahkan untuk ngopi membicarakan hal-hal santai saja tidak ada yang merespons. Kadang, ujarnya lagi seperti ingin menumpahkan seluruh kesedihan yang menumpuk, aku ingin menghilang dan meninggalkan seluruh tugas seperti yang pernah dilakukan perempuan-perempuan lain sebelum aku.

“Aku pernah bilang dalam suatu rapat. Aku tidak bisa melakukan tugas-tugas yang kupegang tanpa ada dukungan dan rangkulan dari atasan. Direktur tak pernah bertanya bagaimana programku, apa saja yang perlu dibantu, atau motivasi-motivasi kecil yang dapat memupuk semangat.”

Perempuan itu mengambil gelas dan meneguk isinya. Matanya terlihat mau menumpahkan sesuatu, tapi ia tahan. Mungkin malu bila harus menangis di depan laki-laki yang bukan siapa-siapa baginya, selain teman berbagi kesedihan dan luka-luka kecil. Ia membetulkan letak rambutnya seolah sedang berdiri di muka sebuah cermin. Dari tipis bibir dan bulan sabit senyumnya tak bisa diragukan bahwa ia memang cantik, tapi melankolis.   

Wajah perempuan itu begitu dekat sehingga ia bisa melihat dengan jelas bulu-bulu halus di bawah hidungnya yang mancung, bibirnya yang basah karena terlalu banyak bercerita, dan kulit halus tangannya ketika perempuan itu memberitahu bahwa tulisannya kurang bagus dan ia akan menyalinnya dengan tulisan yang lebih baik.

“Jadi, bagaimana menurutmu?”

“Sesuai rencanamu yang awal. Pergi ke panti, membagi-bagikan sembako”

“Tapi itu sudah pernah dilakukan.”

“Kemas berbeda.”

“Bagaimana kalau diisi story telling?”

“Ide yang tidak buruk.”

“Sebelum ke panti aku juga ingin mengadakan lomba puisi. Tentang ibu. Tapi apa ya temanya?”

Ia memperhatikan perempuan di hadapannya, terutama ketika perempuan itu membetulkan lagi letak rambutnya. “Ibu adalah gua pertapaanku,” katanya kemudian. Perempuan itu langsung menulis lagi dan melempar senyum kepadanya. Hangat. Mengalahkan dingin angin yang terempas oleh gerimis yang turun di luar.

Saat masih SD, ia sering menulis puisi untuk ibu. Ia juga sering ikut ibunya ke gunung, ke pantai menyiangi cemara, atau ke pesisir menjual gula jawa. Ia senang saat ibunya mengajak ke pantai. Ia suka bermain-main di bagian yang dangkal sebelum ibunya mendudukkannya di bahu dan membawanya semakin jauh ke yang lebih dalam. Ia teriak-teriak sambil menjambak rambut ibunya karena takut jatuh dan tenggelam. Ibunya hanya tertawa terpingkal-pingkal dan bilang semuanya akan baik-baik saja. Kadang-kadang ia menarik rok ibunya ke tepi, lalu menggambar wajah ibunya di atas pasir sebelum hilang disapu ombak.

Tapi ketika ia sudah berani pergi ke pantai sendirian dan bermain-main ombak di bagian yang dalam hingga air menyentuh batang lehernya, ibunya telah pergi dan ia tidak sempat mengatakan apa-apa. Waktu itu ia sudah bisa melukis wajah ibunya di atas kanvas. Ia berlatih siang dan malam untuk menghasilkan sebuah lukisan sebagai hadiah yang akan ia berikan kepadanya saat peringatan hari ibu. Namun sebelum hari itu tiba ibunya telah pergi dari rumah dan hanya meninggalkan surat di dekat bantalnya. Awalnya ia tidak tahu alasan ibunya pergi, hingga kemudian ia mengerti bahwa ibunya tidak pernah bahagia, karena bapaknya kerap pergi dengan perempuan-perempuan lain yang lebih segar dan cantik. Sudah lama ibunya ingin pergi tapi tidak dilakukan karena tidak mau melihat dirinya tumbuh dan besar tanpa orang tua yang lengkap. Kejadian itulah yang memberinya pelajaran tentang arti rindu dan betapa sakitnya ditikam sepi.

Dari Ruang Singgah ia membayangkan kembali peristiwa-peristiwa itu. Peristiwa-peristiwa yang membuat dirinya merasa sendiri ditikam sepi berkali-kali. Ia ingin keluar dari keraguan dan ketakutan yang membuat dirinya berada dalam gelap masa lalu. Ia ingin meraih sepotong cahaya yang bisa membawa dirinya pulang ke rumah. Keluar dari ketakutan-ketakutan.

“Mau kau menjadi ibu dari anak-anakku?” tanyanya pada perempuan di hadapannya. Pertanyaan itu sudah lama ia pikirkan, tapi baru sekarang bisa ia ungkapkan. 

Sangat pelan perempuan itu mengangkat wajah. Lama sekali ia diam sebelum akhirnya berkata, “Kita hanya berbagi kehidupan dengan orang yang kita percaya.”***